Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka di acara Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta. Foto: Agricom.id
AGRICOM, JAKARTA - Aspek peningkatan kapasitas, pemetaan, pembentukan organisasi, dan legalitas adalah langkah krusial dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Aspek-aspek tersebut dapat didukung oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh otoritas lokal, hal ini disampaikan Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka di acara Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta yang dihadiri Agricom.id.
Steni melanjutkan, kendala dana dalam proses sertifikasi bisa diatasi bila petani sawit yang mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah banyak, dalam pengalaman yang telah dilakukan bila mensertifikasi ISPO dengan petani sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 170 per ha. Lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2000 petani, maka biaya yang muncul hanya sekitar kurang US$ 50 per ha.
Baca juga:
Dalam penerapan proses ISPO dengan skala besar diperlukan untuk memastikan efisiensi maksimal. Oleh karena itu, pendekatan kewilayahan (yuridiksi) menjadi kunci dalam melaksanakan audit tersebut. Pemda memegang peran utama dalam memimpin proses ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, NGO, pelaku industri, dan petani. Kolaborasi ini memungkinkan saling mendukung antar-stakeholder serta memastikan implementasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan.
Selanjutnya, kata Steni, insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.
“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Pemda untuk memfasilitasi kerjasama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tandas dia.
Sekadar informasi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait pembangunan perkebunan yang berkelanjutan sejak tahun 2011. Kebijakan tersebut antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Pada tahun 2015, pedoman ini mengalami perubahan nama menjadi Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO).
Selama hampir 13 tahun, ISPO telah dipromosikan untuk diterapkan oleh pelaku usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, termasuk petani swadaya. Namun, tingkat pencapaian sertifikasi ISPO oleh petani masih sangat rendah, hanya terdapat 81 sertifikat dengan luasan total 60.235,58 hektar, dari luas lahan yang dikuasai oleh petani mencapai 6,94 juta hektar.
Komitmen ini kembali diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, serta Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan ISPO. (A3)