Transformasi ISPO untuk Meningkatkan Akses dan Keadilan bagi Petani Sawit

Transformasi ISPO untuk Meningkatkan Akses dan Keadilan bagi Petani Sawit
Agricom.id

03 April 2024 , 21:59 WIB

Acara Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta. Foto: Agricom.id

 

AGRICOM, JAKARTA - Selama hampir 13 tahun, ISPO telah dipromosikan untuk diterapkan oleh pelaku usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, termasuk petani swadaya. Namun, tingkat pencapaian sertifikasi ISPO oleh petani masih sangat rendah, hanya terdapat 81 sertifikat dengan luasan total 60.235,58 hektar, dari luas lahan yang dikuasai oleh petani mencapai 6,94 juta hektar.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait pembangunan perkebunan yang berkelanjutan sejak tahun 2011. Kebijakan tersebut antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Pada tahun 2015, pedoman ini mengalami perubahan nama menjadi Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO).

Komitmen ini kembali diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, serta Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan ISPO.

Baca juga: SPKS Mendorong Pengawasan Ketat DMO Minyak Goreng Demi Kesejahteraan Petani

Selain mendorong penerapan sistem budidaya kelapa sawit yang berkelanjutan, sertifikasi ISPO juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan dan pemberdayaan petani. Oleh karena itu, Pemerintah atau Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan akses petani sawit dalam memperoleh sertifikasi ISPO melalui pendampingan, penyuluhan, pendidikan, pelatihan, serta memudahkan akses keuangan, pemasaran hasil, dan informasi.

Terlebih tipologi petani kelapa sawit yang beragam, menjadi variabel yang dinegasikan dalam regulasi maupun kelembagaan sertifikasi ISPO, sehingga cenderung sulit untuk diakses dan penyebab lambannya target ketercapaian ISPO.

Padahal keragaman tersebut memerlukan perlindungan dan pemberdayaan yang sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Karena itu, penting mengetahui tipologi faktual petani sawit di Indonesia yang memiliki beberapa karakteristik seperti petani sawit tradisional dari tradisi berkebun karet/ berladang beralih ke kebun sawit; petani kurang dari 25 ha namun memiliki akses ke pabrik dengan mempekerjakan buruh skala kecil ataupun besar dan bahkan lebih dari 25 ha namun tidak tergolong perusahaan, sebagian tidak tinggal di pedesaan/sekitar kebun; petani yang tidak memiliki perencanaan pembangunan kebun alias  dibangun secara sporadis tergantung modal yang dimiliki. Mereka tidak berkelompok, SDM rendah, tidak terpantau tahun tanam, tidak terdata luas lahan, dan tidak memiliki legalitas.

Sebab itu, SPKS menilai bahwa ada keragaman di tingkat para petani kelapa sawit dan karena itu sistem sertifikasi ISPO perlu beradaptasi dengan keragaman para petani kelapa sawit. Karena itu, peraturan ataupun standar sertifikasi harus dirubah sesuai dengan tingkat kesenjangan di tingkat petani kelapa sawit.

Sertifikasi untuk semua

13 tahun pelaksanaan ISPO di Indonesia baru mencapai 0,3% sertifikasi bagi petani kelapa sawit. padahal sebenarnya tahun 2025, mesti sudah hampir 100% karena terdapat target pemerintah bahwa pada tahun tersebut sistem itu bersifat wajib. Karena itu perlu ada gerakan yang masif dan inovatif dengan menerapkan sistem sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan. Menurut SPKS, hanya dengan pendekatan ini akan mempercepat sistem sertifikasi di Indonesia khususnya petani skala kecil.

Sistem sertifikasi saat ini belum mampu menjawab tantangan di tingkat petani kelapa sawit khususnya untuk petani yang belum berkelompok yang berjumlah sangat besar sekitar 70% dari total 6,9 juta ha luas kebun petani. SPKS menilai, bahwa untuk menyelesaikan ini adalah kelembagaan di tingkat wilayah seperti pemerintah daerah. Pemda yang memiliki akses untuk mengelola dana bagi hasil serta dana BPDP-KS, memiliki akses ke pemerintah pusat dan memiliki infrastruktur birokrasi dan politik yang lengkapi dianggap memiliki kecocokan untuk menggerakkan sertifikasi ISPO di tingkat petani kecil. Dengan pendekatan kewilayahan/ pendekatan Yurisdiksi akan menghasilkan jumlah petani yang lebih besar.  

Pelaksanaan sertifikasi saat ini masih sangat rumit untuk petani kecil yang tersebar di 16.500 desa di Indonesia. Seperti, pembangunan kelompok terlebih dahulu di masing-masing desa, pendataan, pelatihan, pendampingan, pengurusan legalitas kebun serta kelembagaan dan sosialisasi. Ini proses yang sangat Panjang dan rumit. Peraturan harus menyederhanakan ini, akomodir pendekatan sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan agar petani mudah mendapatkan sertifikasi ISPO.

Sebagai organisasi petani berupaya terus melakukan pengorganisasian kelompok petani swadaya dan melakukan pelatihan praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan. Selanjutnya, SPKS juga mendorong kolaborasi multi pihak, termasuk Pemerintah, LSM, perusahaan perkebunan, petani dan masyarakat puas bekerjasama melakukan prinsip dan kriteria berkelanjutan ISPO melalui pendekatan yurisdiksi.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan pentingnya memperluas akses pendanaan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kelapa sawit. Menurutnya, akses tersebut tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi seperti SPKS yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani. Sabarudin menyoroti hal ini dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta.

Lebih lanjut, Sabarudin menyampaikan bahwa SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 Kabupaten. Namun, sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena terkendala oleh masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO.

"Sayangnya pemerintah tidak memperhatikan masalah pendanaan ini, terutama ketika petani tersebar di berbagai lokasi seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau, dimana ada 1000 petani yang ingin menerapkan ISPO," ujar Sabarudin.

Petani di Sanggau sudah memiliki pemetaan, Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan semua persyaratan lain yang dibutuhkan untuk sertifikasi. Sabarudin menyebutkan bahwa sudah ada 12 Koperasi yang siap untuk menerapkan ISPO dan mereka telah memenuhi semua persyaratan administratif, namun terkendala oleh pendanaan.

Dengan demikian, memperluas akses pendanaan ISPO menjadi penting untuk memastikan bahwa petani kelapa sawit, termasuk yang tergabung dalam organisasi seperti SPKS, dapat dengan mudah mengakses proses sertifikasi tersebut tanpa terkendala oleh masalah keuangan. Hal ini tidak hanya akan membantu meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit, tetapi juga mendukung upaya Indonesia dalam mempromosikan produk kelapa sawit yang berkelanjutan secara global.

Sementara Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun), Prayudi Syamsuri, capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang masih tertinggal, lantaran baru seluas 5,6 juta hektar, atau capaian ISPO saat ini hanya mencapai sekitar 37,08 persen. Sebab itu guna mengatasi kendala tersebut, fokus utama ditujukan pada peningkatan kelembagaan dalam industri ini.

Kata Prayudi, pihaknya menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, dirinya meminta Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Lebih lanjut, kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO diminta untuk mendaftar sesuai dengan program Sarana dan Prasarana (Sarparas).

Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, Prayudi, menekankan pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya.

Lebih lanjut tutur Prayudi, revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas, di mana pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory atau voluntary.

“Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif. Model penilaian akan terus disempurnakan untuk mengurangi biaya dan mempercepat proses sertifikasi ISPO, sehingga beban BPDPKS dapat dikurangi dan dialihkan ke koperasi lainnya,” kata Prayudi.

Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, menekankan pentingnya Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai identitas utama dalam menjadikan industri kelapa sawit Indonesia sebagai pelaku yang berkelanjutan. Sunari menegaskan bahwa saat ini sudah tidak relevan lagi membandingkan ISPO dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau sebaliknya. "Mari kita miliki jati diri ISPO dan menjadi sawit berkelanjutan versi Indonesia, kami hanya mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan," ujarnya.

Lebih lanjut, Sunari menjelaskan bahwa sebelumnya BPDPKS hanya memberikan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan Legalisasi Sarana (LS) dalam proses sertifikasi. Namun, kini pendekatan tersebut telah berubah. BPDPKS akan memperbaiki prosesnya dengan memberikan penguatan kepada petani untuk memulai proses ISPO. Pihaknya terus mendorong inisiatif ini karena prinsip ISPO yang terus membangun. "Membangun itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, dan saat ini kita akan memberikan pelatihan kepada petani terlebih dahulu tentang Legalisasi Sarana sebelum mereka memperoleh ISPO. Kami mendorong petani untuk mengadopsi ISPO," tegas Sunari.

Dengan pendekatan baru ini, diharapkan bahwa lebih banyak petani kelapa sawit akan terlibat dalam proses sertifikasi ISPO, sehingga industri kelapa sawit Indonesia dapat terus meningkatkan standar keberlanjutannya dan menjadi pemain utama dalam pasar global yang menghargai prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah BPDPKS ini diharapkan dapat mempercepat transformasi industri kelapa sawit Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka menyebut bahwa, kendala dana dalam proses sertifikasi bisa diatasi bila petani sawit yang mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah banyak, dalam pengalaman yang telah dilakukan bila mensertifikasi ISPO dengan petani sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 170 per ha.

Lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2000 petani, maka biaya yang muncul hanya sekitar kurang US$ 50 per ha.

Kata Steni, aspek peningkatan kapasitas, pemetaan, pembentukan organisasi, dan legalitas adalah langkah krusial dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Aspek-aspek tersebut dapat didukung oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh otoritas lokal.

Dalam penerapan proses ISPO dengan skala besar diperlukan untuk memastikan efisiensi maksimal. Oleh karena itu, pendekatan kewilayahan (yuridiksi) menjadi kunci dalam melaksanakan audit tersebut. Pemda memegang peran utama dalam memimpin proses ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, NGO, pelaku industri, dan petani. Kolaborasi ini memungkinkan saling mendukung antar-stakeholder serta memastikan implementasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan.

Selanjutnya, kata Steni, insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.

“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Pemda untuk memfasilitasi kerjasama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tandas dia.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP