Agricom.id, JAKARTA - Kementerian Pertanian terus memacu peningkatan produksi, produktivitas dan daya saing serta ekspor komoditi perkebunan termasuk kelapa yang nyata-nyata dapat meningkatkan pendapatan petani dan para pelaku usaha terkait lainnya. Namun anggaran APBN yang masih terbatas hanya mampu membiayai pengembangan kelapa seluas rata-rata 10.000 hingga 15.000 hektare (ha) per tahunnya.
Demikian disampaikan Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Ambon, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Anwar M. Nur mewakili Direktur Jenderal Perkebunan dalam peluncuran dan diskusi Buku “Industri Kelapa Indonesia, Komoditi Leluhur yang Termarginalkan”, diselenggarakan Media Perkebunan di Jakarta, Rabu (18/10/2023).
“Melalui program kegiatan pengembangan kelapa setiap tahunnya yang terdiri dari peremajaan, perluasan dan intensifikasi diharapkan dapat meringankan beban petani dan memberi motivasi untuk terus membudidayakan kelapa,” ujar Anwar.
Lebih lanjut Anwan mengungkapkan, anggara APBN yang masih terbatas, yaitu rata-rata sebesar 90 miliar, hanya mampu membiayai pengembagan kalapa seluas rata-rata per tahun 10.000-15.000 hektare (ha). Sementara tanaman tua rusak yang harus diremajakan mencapai 400 ribu ha.
Tercatat kelapa merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam menyumbang devisa negara. Pada tahun 2022 volume ekspor kelapa mencapai 2,03 juta ton dengan nilai US$ 1,7 miliar atau setara dengan Rp 26,78 triliun
Dari total luas kelapa nasional tersebut, 99,09% atau 3,311 juta ha merupakan perkebunan rakyat dengan beragam kondisi dan melibatkan tidak kurang dari 5,7 juta KK petani. Luas areal kelapa total 3,342 juta ha dengan jumlah produksi sebanyak 2,871 juta ton kopra atau setara dengan 14,3 miliar butir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistk (BPS) dalam lima tahun terakhir luas tanaman kelapa cenderung mengalami penurunan. Pada 2017 luas perkebunan kelapa 3,473 juta ha, dan terus menurun hingga 2022 tinggal seluas 3,342 juta ha.
“Mengembalikan kejayaan kelapa nasional dan meningkatkan kesejahteraan petaninya tentu tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait lainnya,” ujar Anwar.
Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika mengatakan, hilirisasi industri kelapa merupakan salah satu prioritas yang dijalan pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Hilirisasi industri kelapa terbagai menjadi industri pangan dan non pangan.
Ardika menyebutkan, saat ini terdapat 113 perusahaan industri kelapa di Indonesia yang masih beroperasi. Dari jumlah itu terbagi menjadi industri besar, menengah, dan UMKM terdiri dari industri sabut kelapa, industri kelapa terpadu, gula kelapa, dan minyak.
Menurut Ardika, ketersedian buah kelapa menjadi salah satu kendala dalam pengembangan industri kelapa. “Buah kelapa sebagai bahan baku mengikuti musim, sehingga jumlah produksi akan tergantung pada ketersediaan bahan baku,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Ardika, buah kelapa sebagai bahan baku industri dikenakan PPN 10 persen. Sedangkan ekspor kelapa butir bebas pajak. Hal ini menjadi penyebab petani lebih memilih untuk ekspor kelapa bulat dibanding memasok industri dalam negeri.
Direktur Eksekutif International Coconut Community (ICC) Jelfina C. Alouw mengungkapkan, kontribusi kelapa itu luar biasa, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Dari 19 persen total ekspor kelapa global itu dari Indonesia berbasis daging kelapa.
Jelfina mengakui, sebelumnya Indonesia menjadi yang pertama sebagai produksi dan luar areal kelapa terbesar dunia. Saat ini posisinya dipegang Filipina dengan luas perkebunan kelapa terbesar sekitar 3.592,66 ha.
Jelfina menyebutkan, ada beberapa tantangan yang dihadapi industri kelapa Indonesia antara lain produktivitas yang rendah, infrastruktur jalan produksi yang belum memadai. “Kita memang punya produksi kelapa yang besar. Tapi ada di ujung daerah yang susah dijangkau untuk diangkut,” jelasya.
Menurut Jelfina, aksesi varietas kelapa unggul di Indonesia masih tertinggal dari Filpina dan India. Saat ini yang tercatat sekitar 100 varietas kelapa unggul yang ada di Indonesia.
Sementara India memiliki 455 varietas kelapa unggul, dan Filipina sebanyak 263 varietas kelapa unggul. “Tapi saya yakin masih banyak kelapa unggul di Indonesia yang belum teridentifikasi,” kata Jelfina.
Ketua Umum Dewan Kelapa Indonesia (Dekaindo) Gama Nasir mengatakan, berdasarkan data BPS, ada hal menarik untuk diulas. Di saat lahan semakin menyusut namun produksi dan ekspor naik.
“Hal ini berarti potensi kelapa masih sangat besar untuk ditingkatkan. Hulu tertinggal dari hilir. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Hulu harus diperbaiki,” ujar Gamal.
Untuk memperbaiki hulu, peremajaan kelapa harus dilakukan agar produksi dan harga juga meningkat. “Peremajaan kelapa tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong. Harus dilakukan gerakan nasional kelapa, seperti Gernas Kakao,” jelas Gamal.
Menurut Gamal, tanpa adanya Gernas Kelapa tidak bisa mengharapkan produksi kelapa meningkat, apalagi harga kelapa. Karena banyak pohon kelapa yang sudah tua rusak.
“Dekindo sebagai organisasi yang menaungi semua organisasi kelapa akan berusaha agar semua pihak untung dan gembira. Petani untung dan perusahaan pengolahan kelapa juga untung,” jelas Gamal.
Ketua Tim Penulis Buku bertajuk “Industri Kelapa Indonesia, Komoditi Leluhur yang Termajinalkan”, Suntoro mengatakan, buku ini merupakan potret industri kelapa di Indonesia mulai dari hulu hingga hilir. Era kejayaan kelapa tahun 70-an kini redup seperti termarjinalkan
"Kelapa merupakan komoditi rakyat yang menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan masyarakat Indonesia. Sayangnya kini seolah terlupakan,” katanya. (A2)