AGRICOM, JAKARTA – Pemerintah Indonesia terus mengakselerasi transformasi sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan melalui kebijakan yang lebih komprehensif dan inklusif. Salah satu langkah penting adalah pembaruan regulasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 yang memperluas cakupan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), dari hanya sektor hulu menjadi mencakup sektor hilir dan bioenergi.
Lila Harsyah Bakhtiar, Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mengungkapkan bahwa ISPO kini tak hanya menyasar kebun sawit, tetapi juga berupaya menjamin keberlanjutan pada produk olahan yang sampai ke tangan konsumen. Skema ISPO hilir yang tengah disusun bertujuan menjawab kebutuhan pasar global yang kian menuntut produk berkelanjutan dan terlacak asal-usulnya (traceable).
“ISPO hilir ini seperti sertifikasi halal—memberikan jaminan tertulis bahwa produk yang dikonsumsi berasal dari sumber yang bertanggung jawab,” ujar Lila dalam diskusi Forwatan bertema “Perpres 16/2025 ISPO untuk Industri Sawit Berkelanjutan” di Jakarta (4/6/2025), yang dihadiri Agricom.id.
BACA JUGA: ISPO Diperluas: Pemerintah Tegaskan Standar Sawit Berkelanjutan dari Hulu ke Hilir
Menurut data Kemenperin, hanya sekitar 10% crude palm oil (CPO) diekspor dalam bentuk mentah, sementara sisanya dalam bentuk produk turunan. Dengan lebih dari 190 jenis produk hilir sawit, skema sertifikasi ini akan berfokus pada produk dengan volume besar dan potensi pasar tinggi. Logo ISPO nantinya dapat dicantumkan di kemasan produk sebagai penanda kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan.
Skema ISPO hilir akan menggunakan pendekatan mass balance—campuran antara bahan bersertifikat dan non-sertifikat yang tetap dalam sistem pengawasan ketat. Model ini akan disesuaikan dengan standar internasional seperti RSPO, ISCC, dan MSPO, memperkuat daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.
Berbeda dari sertifikasi mutu seperti SNI, ISPO hilir akan memverifikasi proses produksinya, bukan hanya hasil akhir. Tiga prinsip utama yang dipegang: kepatuhan hukum, sistem dokumentasi yang transparan, dan praktik usaha berkelanjutan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (UN SDGs). Draft regulasi ISPO hilir akan dirilis untuk konsultasi publik pada Juni 2025, dengan rujukan pada Permenperin No. 45 Tahun 2020.
Sementara itu, Ratna Sariati, Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan di Kementerian Pertanian, menegaskan bahwa ISPO bukan sekadar label, melainkan sistem menyeluruh yang memastikan usaha kelapa sawit dikelola secara ekonomis, sosial-budaya, dan ramah lingkungan sesuai regulasi nasional.
“ISPO adalah bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Ini bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk komitmen untuk menjamin keberlanjutan sektor sawit,” tegasnya.
Seiring perluasan ruang lingkup, pemerintah juga melakukan restrukturisasi kelembagaan dan pembaruan skema pembiayaan, termasuk pembiayaan dari APBN, APBD, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Sebagai catatan, hingga Februari 2025, terdapat 1.157 pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikasi ISPO, mencakup 6,2 juta hektare lahan. Dari jumlah itu, 84% merupakan perusahaan swasta, 9% BUMN, dan 7% pekebun rakyat. Luasan ini menempatkan Indonesia di posisi unggul dibanding Malaysia dalam hal sertifikasi keberlanjutan.
Saat ini, Kementerian Pertanian juga sedang menyiapkan revisi atas Permentan No. 38 Tahun 2020, sebagai turunan dari Perpres baru. Revisi ini akan menyelaraskan regulasi ISPO dengan pendekatan lintas sektor, termasuk industri dan energi terbarukan.
Melalui reformasi sistem sertifikasi ini, pemerintah ingin memastikan bahwa sawit Indonesia tidak hanya menjadi komoditas unggulan, tetapi juga simbol keberlanjutan nasional di mata dunia. (A3)