Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian menegaskan bahwa industri sawit bukan sekadar komoditas ekspor, tetapi penopang kehidupan jutaan rakyat dan masa depan energi Indonesia. Foto: Agricom/IPOC2025
AGRICOM, BALI — Dalam momentum penting bagi masa depan industri sawit nasional, pemerintah menegaskan komitmennya untuk memperkuat produktivitas dan kemiskinan sektor kelapa sawit. Hal itu tercermin dari pernyataan Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian , pada konferensi tahunan Konferensi Kelapa Sawit Indonesia (IPOC) 2025 di Nusa Dua, Bali.
Dengan nada tenang namun penuh keyakinan, ia menyampaikan pesan kuat bahwa sawit bukan sekadar komoditas ekspor, melainkan penopang kehidupan jutaan rakyat serta bagian strategis dari masa depan energi Indonesia .
Berdasarkan data yang ia paparkan, Indonesia kini memiliki 16,38 juta hektar kebun sawit dengan produksi tahunan mencapai 47–50 juta ton CPO . Sektor ini menyerap lebih dari 9,7 juta tenaga kerja langsung serta 7–8 juta tenaga kerja tidak langsung , dan menyumbang sekitar 3,5 persen terhadap PDB nasional . “ Sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, ” ujar Baginda.
BACA JUGA:
- Ketua Umum GAPKI Ungkap Tiga Strategi Hadapi Tantangan Industri Sawit di IPOC 2025
- Peserta Pecahkan Rekor IPOC 2025, Mona Surya: Antusiasme Luar Biasa
Namun, di balik kontribusi besar tersebut, Baginda menyoroti fakta penting bahwa 41 persen lahan sawit nasional dikelola oleh rakyat . “Artinya, masa depan industri ini bergantung pada kemampuan pekebun kecil dalam meningkatkan produktivitas,” jelasnya.
Jika tidak dilakukan peremajaan dan peningkatan kapasitas petani, produktivitas sawit rakyat berpotensi terus menurun. Proyeksi Kementerian Pertanian bahkan mengisyaratkan bahwa tanpa langkah nyata, pada tahun 2045 produksi CPO nasional bisa turun menjadi 44 juta ton , dengan produktivitas sekitar 3,1 ton per hektare per tahun .
Tantangan dan Langkah Strategi
Baginda menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi pekebun rakyat: penggunaan benih non-sertifikasi , praktik budidaya yang belum optimal , keterbatasan akses pembiayaan dan mekanisasi , hingga permasalahan legalitas lahan dan sertifikasi ISPO .
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan terpadu melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) , peningkatan tata kelola dan legalitas lahan , serta penguatan kapasitas petani . Dukungan juga diberikan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk pengadaan sarana produksi, penelitian, dan pelatihan sumber daya manusia.
Program PSR, misalnya, memberikan dukungan hingga Rp 60 juta per hektare bagi pekebun dengan luas maksimal empat hektare. “Ini bukan sekadar menanam ulang, tetapi menata ulang masa depan sawit,” ujar Baginda. Hingga kini, 392 ribu hektar lahan telah direkomendasi untuk PSR, dan lebih dari 22 ribu pekebun telah mengikuti pelatihan teknis dan kewirausahaan.
Penguatan Sistem Keberlanjutan
Pemerintah juga memperkuat sistem keberlanjutan melalui penerapan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang kini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 . Sistem ini mencakup tujuh prinsip utama bagi perkebunan, mulai dari penegakan hukum dan praktik budidaya baik hingga tanggung jawab sosial serta lingkungan.
Sementara untuk sektor hilir dan bioenergi, ISPO menekankan tiga prinsip utama : ketelusuran, kepatuhan, dan peningkatan usaha berkelanjutan. “ISPO bukan sekedar label hijau, tapi komitmen nasional terhadap tata kelola dan transparansi,” tegas Baginda.
Langkah strategis selanjutnya adalah diluncurkannya Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) 2025–2029 , kelanjutan dari Inpres Nomor 6 Tahun 2019 . Rencana ini mencakup sembilan sasaran utama , di antaranya peningkatan produktivitas, pembangunan satu data perkebunan , pelestarian lingkungan, percepatan sertifikasi, serta perluasan akses pasar.
“Dengan satu data, tata kelola akan lebih kuat; dengan promosi, peningkatan produktivitas; dan dengan sertifikasi, dunia semakin percaya pada sawit Indonesia,” ungkapnya.
Antisipasi Perubahan Pasar
Di tengah berbagai pencapaian itu, Baginda mengingatkan tantangan baru yang mulai muncul: meningkatnya kebutuhan minyak sawit di negeri ini seiring penerapan mandatori B40 dan rencana B50 pada tahun 2026 . Peningkatan konsumsi energi domestik diperkirakan akan menekan volume ekspor hingga 11–12 persen mulai tahun depan.
“Ini adalah perubahan struktur pasar yang harus kita antisipasi. Kuncinya ada pada peningkatan produktivitas dan hilirisasi,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya kemitraan antara perusahaan besar dan petani rakyat sebagai jembatan transfer teknologi dan peningkatan efisiensi.
Pemerintah, kata Baginda, telah mewajibkan perusahaan besar untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebesar 20 persen dari luas areal yang mereka kelola.
Sawit Sebagai Kebanggaan Nasional
Menutup paparannya, Baginda menyampaikan pesan penuh harapan: agar industri sawit Indonesia terus menjadi penopang ekonomi nasional sekaligus solusi global bagi pangan dan energi berkelanjutan .
“Jika tata kelola baik, produktivitas meningkat, dan petani sejahtera,” ujarnya mantap, “maka sawit bukan lagi soal kontroversi — melainkan kebanggaan nasional.”
Jangan lewatkan! ikuti berita terkini kegiatan IPOC 2025 di Agricomcom.id (A3)