AGRICOM, KALIMANTAN TIMUR - European Union Deforestation Regulation (EUDR) mulai berlaku di Uni Eropa (UE), sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengurangi tingkat deforestasi global. EUDR membawa dampak besar pada sektor kelapa sawit, terutama bagi petani swadaya yang melakukan budidaya kelapa sawit setelah Desember 2020. Lain halnya dengan petani swadaya yang telah mendapatkan sertifikasiseperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai bukti komitmennya untuk menjaga hutan dan lingkungan, EUDR memiliki potensi untuk menghentikan ekspor produk kelapa sawit yang terkait dengan deforestasi.
Penting untuk memahami bahwa regulasi seperti EUDR tidak hanya memiliki dampak pada aspek lingkungan, tetapi juga pada dimensi sosial dan ekonomi. Sebagai sebuah kebijakan, EUDR tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga perilaku masyarakat, ancaman terhadap nafkah petani, dan bahkan memperdalam konflik dalam rantai pasok yang berakhir di negara-negara UE.
Ketika kita berbicara tentang kelapa sawit, kita tidak bisa memisahkan sumber daya alam ini dari berbagai aspek kehidupan lainnya. Sumber daya alam seperti hutan tropis tidak dapat diisolasi dari operasi modal teritorial lainnya, seperti modal manusia, modal privat, dan modal sosial. Komoditas kelapa sawit, yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga desa, adalah salah satu contohnya. Data mengungkapkan bahwa petani swadaya berkontribusi hingga 41% terhadap produksi minyak kelapa sawit di tingkat nasional. Lebih dari itu, sekitar 13 juta jiwa, termasuk keluarga petani, diperkirakan akan terdampak oleh regulasi baru ini.
Baca juga : Sinergi dan Kolaborasi Multi-Stakeholger untuk Percepatan Penerapan ISPO Pekebun
Saya meyakini bahwa solusi terbaik adalah melibatkan petani dalam proses pengambilan keputusan dan bersama-sama mencari cara untuk menjaga lingkungan sekaligus melindungi mata pencaharian mereka. Kerjasama yang erat antara pemerintah, pemangku kepentingan, dan petani swadaya yang berupaya untuk menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan adalah kunci untuk mencapai tujuan keberlanjutan yang seimbang. Pendekatan kolaboratif seperti ini memastikan bahwa dampak kebijakan menjadi bagian dari solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah yang kompleks ini.
Petani swadaya yang berusaha menerapkan praktik pertanian berkelanjutan sepenuhnya menyadari pentingnya keberlanjutan lingkungan, dan mereka ingin berperan dalam upaya ini. Petani berharap bahwa regulasi seperti EUDR dapat memperhitungkan peran mereka dalam industri ini dan mencari solusi yang tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberikan dampak peningkatan nafkah.
Biarkan saya membawa Anda ke tengah keindahan hutan tropis Kalimantan Timur, di tiga kecamatan yang mungkin belum banyak dikenal oleh dunia luar: Kembang Janggut, Tabang, dan Kenohan. Di sinilah kisah nyata terjadi, yang mencerminkan bagaimana sebuah komoditas seperti kelapa sawit dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari ribuan petani swadaya di Kabupaten Kutai Kartanegara. Luas kebun kelapa sawit di wilayah ini mencapai sekitar 15.000 hektar, dan sekitar 58% dari lahan ini berada di dalam kawasan hutan, menciptakan tantangan yang rumit mengingat adanya regulasi ketat dari UE terkait produk kelapa sawit.
Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera, bekerjasama dengan mitra pembangunan yang beroperasi di Kutai Kartanegara, untuk membantu petani swadaya menghadapi berbagai perubahan yang sedang terjadi. Upaya kami difokuskan pada memberikan pelatihan dan pengetahuan tentang praktik tata kelola kebun kelapa sawit yang berkelanjutan. Dalam dua tahun terakhir, sudah lebih dari 1000 petani yang telah diberikan pelatihan Best Management Practice (BAP). Koperasi telah mengambil inisiatif untuk melakukan pemetaan dan identifikasi kebun-kebun petani. Kolaborasi desa dengan mitra pembangunan juga telah membantu Desa membuat perencanaan dengan pendekatan landscape. Ini adalah respons kami dalam menjawab tantangan pasar dan potensi ancaman nafkah yang salah satunya akan dipicu oleh peraturan baru dari UE tersebut.
Baca juga : Kementan Dukung Hilirisasi Produk Kopi Di Kelompok Tani Gemah Ripah Magelang
Petani swadaya dihadapkan pada sejumlah tantangan yang rumit, terutama di konteks Indonesia yang memiliki karakteristik sendiri. Saya menyaksikan bagaimana para petani, yang sebagian besar sepenuhnya menggantungkan mata pencaharian mereka pada kelapa sawit, harus berjuang menghadapi perubahan ini. Tidak mengherankan mengingat hampir 90% penduduk setempat bergantung pada komoditas ini. Namun, infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya minat investor untuk masuk ke daerah ini telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang semakin dalam.
Tantangan lainnya adalah bahwa sebagian dari kebun kelapa sawit anggota koperasi kami terletak di dalam kawasan hutan. Meskipun beberapa kebun ini sudah ada selama lebih dari 10 tahun dan menjadi bagian penting dari mata pencaharian petani, belum ada kejelasan hukum yang memadai tentang status lahan tersebut. Ini membuat petani harus terus berjuang untuk mencari kepastian hukum yang diperlukan.
Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera, yang telah meraih sertifikat RSPO pada tahun 2022, telah menjadi salah satu contoh dalam upaya menciptakan praktik berkelanjutan. Kami telah melakukan pemetaan dan verifikasi kebun-kebun milik petani anggota kami, menciptakan sistem yang transparan, dan berusaha keras untuk memastikan bahwa praktik pertanian berkelanjutan benar-benar diimplementasikan. Ketidakpastian hukum dan tekanan pasar yang menuntut Tandan Buah Segar (TBS) yang bersumber dari Areal Penggunaan Lain (APL) semakin mempersulit situasi, karena terbatasnya lahan yang “sah”’ di desa.
Di tengah kerumitan sistem dan kebijakan di Indonesia, upaya kami untuk mencapai kepatuhan terhadap prinsip berkelanjutan adalah perjuangan yang kompleks. Bagaimana kita akan menghadapi tantangan ini, dan sampai kapan kerumitan situasi ini akan dipertahankan oleh pemerintah, adalah pertanyaan yang tetap menggantung di udara.
Baca juga : Koalisi Transisi Bersih: Dana Sawit Harusnya Buat Subsidi Petani, Bukan Korporasi
Pemerintah seharusnya memberikan dukungan teknis dan finansial kepada petani swadaya untuk beralih ke praktik yang berkelanjutan, melalui pelatihan, pemilihan varietas tanaman yang lebih berkelanjutan, dan solusi-solusi komprehensif yang dapat membantu meningkatkan hasil tanaman. Pemberdayaan petani swadaya dan peningkatan organisasi adalah langkah penting untuk memberikan akses yang lebih baik ke sumber daya, pasar, dan pengetahuan yang diperlukan.
Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia bukan hanya masalah internal negara ini, melainkan sudah menjadi perhatian global. Oleh karena itu, mengakhiri deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah tanggung jawab bersama demi masa depan planet ini secara proaktif.
Seluruh aktor dalam rantai pasok kelapa sawit harus menghormati kondisi eksisting dan mengakui tantangan serta dampak yang telah ada. Ini adalah langkah sinergis dalam mengambil tindakan selanjutnya. Kita harus memahami bahwa deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah hasil dari berbagai faktor sejarah struktural, ekonomi, dan sosial yang kompleks. Ini termasuk kebijakan pemerintah untuk menghasilkan minyak kelapa sawit, serta kehidupan petani swadaya di sekitar rantai pasok yang sudah mapan.
Banyak petani dan masyarakat yang terlibat dalam rantai pasok industri kelapa sawit tidak memiliki alternatif mata pencaharian yang memadai. Oleh karena itu, menciptakan solusi yang dapat menghormati kondisi eksisting dan memberikan alternatif yang layak bagi petani adalah kunci keberhasilan tata kelola berkelanjutan. Langkah penting adalah menciptakan konsensus untuk pembangunan berkelanjutan. Semua pihak, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat, perlu mengakui peran mereka dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan yang telah terjadi. Hanya melalui rekognisi bersama ini kita dapat menjalin kerja sama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Delapan aspek berikut adalah pembelajaran penting yang dapat diambil dari pengalaman petani swadaya dalam upaya meningkatkan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan demi melindungi hutan, keanekaragaman hayati, dan lingkungan alam secara keseluruhan:
- Inventarisasi dan Identifikasi Lahan: Pendataan dan identifikasi lahan adalah langkah awal yang penting dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Data yang akurat tentang lokasi perkebunan kelapa sawit di tingkat desa, baik yang dimiliki swasta, koperasi petani, atau individu petani swadaya, sangat diperlukan untuk membuat keputusan yang efektif.
- Membuka Akses yang Adil bagi Petani Swadaya: Melalui pemberian akses yang sah dan legalitas terkait Areal Penggunaan Lain (APL) serta skema perhutanan sosial sesuai perundang-undangan, pemerintah dapat menciptakan kerangka hukum yang adil dan berkelanjutan. Ini dapat memperkuat kepercayaan petani, mendorong kerjasama, dan mengurangi praktik-praktik ilegal yang merusak hutan.
- Dukungan untuk Praktik Berkelanjutan: Memberikan dukungan teknis dan finansial kepada petani untuk menerapkan praktik pertanian berkelanjutan adalah langkah penting dalam mengurangi dampak industri kelapa sawit pada lingkungan. Pelatihan, pemilihan varietas tanaman yang lebih baik, pengelolaan air yang bijaksana, dan praktik-praktik lingkungan yang lebih baik dapat membantu melindungi hutan dan meningkatkan produktivitas petani dalam jangka panjang.
- Menciptakan Alternatif Mata Pencaharian: Mengeksplorasi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit adalah kunci untuk solusi jangka panjang. Diversifikasi mata pencaharian, seperti pertanian dan komoditas perkebunan berkelanjutan lainnya, pariwisata, atau pengolahan agro lainnya, dapat membantu mengurangi ketergantungan pada kelapa sawit.
- Mendorong Praktik yang Lebih Baik: Mendorong petani untuk menerapkan Better Management Practices (BMP) adalah langkah penting dalam mengurangi dampak industri kelapa sawit pada lingkungan. Praktik-praktik ini termasuk penggunaan pestisida yang bijaksana, pengelolaan limbah yang tepat, dan penggunaan pupuk yang lebih efisien. Dengan mempromosikan praktik yang lebih baik, petani dapat mengurangi risiko kerusakan lingkungan.
- Keterlibatan Aktif Pemerintah dan Swasta: Peran pemerintah dalam mengawasi dan mengatur industri kelapa sawit sangat penting. Dalam hal ini, swasta juga memiliki Tanggung Jawab Sosial Lingkungan untuk mengadopsi praktik berkelanjutan dalam rantai pasokan mereka.
- Peningkatan Pemahaman Masyarakat: Peningkatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi hutan dan praktek berkelanjutan adalah langkah krusial. Pendidikan dan kesadaran publik dapat membantu mengubah perilaku dan budaya sekitar industri kelapa sawit.
- Kerjasama Internasional: Deforestasi dan degradasi hutan adalah masalah global. Kerja sama dengan komunitas internasional, termasuk negara-negara yang mengimpor produk kelapa sawit, dapat membantu meningkatkan tekanan pada praktik-praktik yang merusak lingkungan. Melalui kerja sama internasional, kita dapat berbagi pengetahuan, sumber daya, dan dukungan untuk menjaga hutan tropis di seluruh dunia.
Ketergantungan UE terhadap minyak kelapa sawit dapat digunakan politik Indonesia untuk menata industri kelapa sawit nasional kembali, meski regulasi eksternal seperti EUDR tidak dapat mempengaruhi keseluruhan akses pasar dan stabilitas ekonomi. Indonesia perlu menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan sebagai bagian dari masyarakat global.
Industri sawit nasional dan upaya hilirasi merupakan jalan transisi mendesak dari transisi tereksklusinya pasar UE dan lebih mandiri dalam mengatur industri kelapa sawit sendiri. Langkah ini akan memperluas peluang pasar dalam negeri, menjaga pendapatan petani swadaya, dan memungkinkan Indonesia untuk memfokuskan pada proses produksi yang efisien, distribusi, dan pemasaran turunan produk kelapa sawit. Dengan demikian, sambil tetap berhubungan dengan pasar global, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi dalam mengelola sumber daya alamnya.
Oleh: Jamaluddin, Ketua Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera, Kalimantan Timur