AGRICOM, BOGOR – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyambut baik Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo terkait penertiban kawasan hutan. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting dalam mengatasi berbagai permasalahan di sektor perkebunan kelapa sawit, terutama terkait menjamurnya perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.
Regulasi ini merujuk pada aturan sebelumnya, termasuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 110A dan 110B, yang kemudian diperkuat oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2023. Mengingat masih maraknya perusakan hutan dan perambahan lahan, SPKS berharap pemerintah dapat mengambil tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan tata kelola lahan yang masih terjadi di lapangan.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menegaskan bahwa keberadaan hutan memiliki peran penting bagi masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Ia juga menyoroti pentingnya keselarasan antara perkebunan sawit dan kawasan hutan, yang berfungsi sebagai zona penyangga dengan manfaat besar bagi masyarakat, keanekaragaman hayati, serta perlindungan satwa langka. Oleh karena itu, keseimbangan antara perkebunan sawit dan hutan di sekitarnya harus diatur dengan baik.
Lebih lanjut, Sabarudin menjelaskan bahwa Perpres No. 5 Tahun 2025 bertujuan untuk mempercepat penyelesaian permasalahan tata kelola lahan dan usaha di dalam kawasan hutan, termasuk di sektor perkebunan kelapa sawit. SPKS menilai regulasi ini sebagai langkah strategis dalam menata penggunaan lahan secara berkelanjutan, sekaligus menjaga keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Menurut Sabarudin, kebijakan ini dapat dilakukan dengan baik, apabila melibatkan semua pemangku kepentingan di perkebunan kelapa sawit termasuk petani sawit swadaya (mandiri). Sebab menurutnya, petani Kelapa sawit sejak dahulu, sangat berharap kepada pemerintah, agar mampu memfasilitasi penyelesaian persoalan perkebunan kelapa sawit, termasuk milik petani yang teridentifikasi berada dalam kawasan hutan.
Saat ini, pemerintah telah mengklaim adanya luasan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan seluas 3,5 juta hektar. Berdasarkan data perkiraan ini, dapat dilakukan kepastian akan keberadaan perkebunan kelapa sawit secara faktual di lapangan. SPKS mendorong adanya pemetaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang berada dalam kawasan hutan untuk segera dilakukan.
Pasalnya, menurut SPKS, pemetaan lahan kebun sawit dibutuhkan, agar dapat terkonfirmasi pula akan luasan lahan perkebunan kelapa sawit milik petani yang berada dalam kawasan hutan. Kejelasan data petani kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan dibutuhkan, guna mengetahui dengan pasti akan luasan kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit. Merujuk aturan Kementerian Pertanian RI, luasan lahan perkebunan kelapa sawit milik petani termasuk dalam kategori luasan perkebunan kelapa sawit kurang dari 25 hektar.
“Sebaliknya, jika kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit melebihi dari luasan 25 hektar, berdasarkan peraturan Kementan RI, maka tidak dapat dikategorikan sebagai petani kelapa sawit”, ujar Ketua Umum SPKS, Sabarudin, dalam keterangan pers yang di terima Agricom.id.
BACA JUGA: ANJ Raih Empat PROPER Emas untuk Pengelolaan Lingkungan Terbaik dari KLHK
Sabarudin mendorong pelaksanaan Perpres ini, bagi petani kelapa sawit, harus mengacu pada batasan luasan 25 hektar ke bawah dan jangan sampai merugikan petani kelapa sawit.
Penerapan Perpres ini menurut SPKS, harus dimulai dengan memfasilitasi pemetaan lahan-lahan petani oleh pemerintah daerah secara partisipatif dengan melibatkan petani, masyarakat lokal dan Pemerintah desa. Harapannya, dapat mengetahui berapa luasan lahan perkebunan kelapa sawit milik petani, yang masuk dalam kawasan hutan dan data kepemilikannya.
Setelah data peta lahan kebun sawit milik petani diketahui, maka perlu dilakukan pengecekan kembali akan asal muasal lahan kebun sawit tersebut. Konfirmasi akan sejarah lahan dibutuhkan guna menjawab kondisi awal, apakah petani tersebut menguasai lahan pada kondisi sebelum penetapan kawasan hutan atau sesudah penetapan kawasan hutan. Kondisi terkini, banyak petani kelapa sawit dengan luasan 5 hektar ke bawah telah dimiliki oleh masyarakat desa atau lokal dengan mengelolanya lebih dari 30 tahun, namun masih masuk kedalam kategori kawasan hutan.
Penyelesaian kebun sawit yang dikelola oleh masyarakat sangat dibutuhkan, agar ada kejelasan dan kekuatan legalitas hukum bagi petani kelapa sawit. Apabila lahan perkebunan kelapa sawit petani dapat keluar dari kategori kawasan hutan, maka bisa mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM), sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha kebun sawit milik petani dan mempermudah akses keuangan perbankan bagi petani. Selain itu, dapat mengakses pendanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan bisa mempercepat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
SPKS juga mendorong penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan perlu disesuaikan dengan tipologi petani, misalnya petani bertempat tinggal di desa atau masyarakat lokal sekitarnya. Termasuk lama waktu akan masa penguasaan lahan dan besaran luasan kebun sawit yang dimiliki.
SPKS juga mendorong akan penyelesaian petani yang termasuk dalam kategori kawasan hutan, dapat dipermudah dan dijalankan oleh pemerintahan Presiden Prabowo. “Pemerintah jangan hanya keluarkan kebijakan (regulasi) saja, tanpa dilakukan. Menyitir ungkapan dari Presiden Prabowo, jangan sekedar omon-omon saja”, ungkap Sabarudin menegaskan. (A3)