AGRICOM, KUALA LUMPUR — Indonesia memiliki luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 16 juta hektare yang dapat menghasilkan lebih dari 111 juta ton biomassa setiap tahunnya, sebuah sumber daya yang dapat mendorong bangsa ini menuju masa depan dengan energi yang lebih bersih.
Dalam Konferensi Biomassa Sawit Internasional ke-5 tahun 2025, yang diadakan di Berjaya Times Square Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia, Dr. M. Windrawan Inantha, Deputi Direktur Transformasi Pasar (Indonesia) dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), memaparkan potensi biomassa dari sawit dan rencana praktis untuk memanfaatkan biomassa ini guna mencapai tujuan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2024, perkebunan sawit Indonesia mengolah 200,7 juta ton tandan buah segar (TBS) untuk menghasilkan 48,17 juta ton minyak sawit mentah.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom dan Bursa Malaysia Naik pada Rabu (23/4)
Kegiatan ini, yang terkonsentrasi di Sumatra dan Kalimantan, menghasilkan biomassa dalam jumlah besar: tandan buah kosong (46,16 juta ton), cangkang kernel sawit (12,04–16,06 juta ton), serat mesokarp (26,09–30,11 juta ton), limbah cair pabrik sawit (130,46 juta ton), batang sawit (22–35 juta ton, mencapai puncak 59,7 juta ton saat replanting), dan pelepah sawit (27,1–30,1 juta ton). Secara total, biomassa padat mencapai 111,39 hingga 122,33 juta ton per tahun, menunjukkan potensi besar dari 16 juta hektare perkebunan Indonesia.
Biomassa ini berpotensi menghasilkan 40–59 terawatt-jam (TWh) energi setiap tahun, melampaui target bioenergi tahun 2025 sebesar 33 TWh. Teknik seperti torrefaksi dan pirolisis meningkatkan efisiensi dengan mengurangi kadar air pada tandan kosong dari 60% menjadi 10%, menghasilkan 19–30 TWh dari biomassa padat.
Limbah cair pabrik sawit, melalui penangkapan gas metana, menghasilkan setara 16,1–20,1 juta barel minyak, atau 15,6–19,5 TWh dengan efisiensi generator 30%. Batang sawit menyumbang 5–9 TWh. Energi ini mendukung co-firing di pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, berpotensi mencapai 5 gigawatt dan mengurangi emisi sebesar 10–15% per megawatt. Cangkang kernel sawit, dengan kandungan energi tinggi (19–23 MJ/kg), memasuki pangsa pasar ekspor, dengan 1,5 juta ton dikirim ke Jepang pada tahun 2023, menyumbang 2–3 TWh setiap tahun.
Meski menjanjikan, pemanfaatan biomassa menghadapi tantangan teknis yang signifikan. Misalnya, kandungan air tinggi pada tandan kosong, yang mencapai 60%, ditambah dengan abu 4–12%, meningkatkan biaya pengolahan sebesar 20–30%, sehingga produksi energi menjadi kurang efisien.
Demikian pula, limbah cair pabrik kelapa sawit melepaskan metana, yang memiliki dampak pemanasan 28 kali lebih besar dibandingkan CO?, namun hanya 10% pabrik yang dilengkapi untuk menangkapnya sebagai biogas. Hambatan teknis ini, ditambah dengan distribusi fasilitas biomassa yang tidak merata—kebanyakan berada di Sumatra sementara Kalimantan masih kurang terlayani—membatasi skalabilitas energi biomassa.
Namun, solusi inovatif menawarkan jalan untuk mengatasi hambatan ini dan membuka manfaat ekonomi serta lingkungan yang substansial. Teknologi canggih seperti torrefaksi dan pirolisis dapat meningkatkan efisiensi biomassa, sementara produksi biochar tidak hanya meningkatkan output energi tetapi juga menyimpan karbon, berpotensi menambah $1 miliar ke PDB Indonesia pada tahun 2030.
Memperluas ekspor cangkang kernel sawit, yang telah menjadi komoditas berharga dengan 1,5 juta ton dikirim ke Jepang pada tahun 2023, bersama dengan peningkatan co-firing di 20 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, dapat menghasilkan pendapatan $500 juta. Selain itu, inisiatif biomassa dapat menciptakan 500.000 lapangan kerja pada tahun 2030, memberikan dorongan signifikan bagi komunitas pedesaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah perkebunan Indonesia.
Untuk mewujudkan potensi ini secara penuh, strategi yang jelas dan dapat ditindaklanjuti sangat penting. Melakukan inventarisasi biomassa nasional akan memungkinkan pelacakan dan pengelolaan yang lebih baik terhadap 111 juta ton yang dihasilkan setiap tahun, memastikan penggunaan yang efisien di seluruh perkebunan Indonesia.
Berinvestasi dalam fasilitas untuk mengolah tandan kosong dan cangkang kernel sawit dapat membantu mencapai 50 TWh pada tahun 2030, sementara mewajibkan pabrik untuk menggunakan setengah residunya (POME) untuk energi pada tahun 2028 akan mendorong kemajuan.
Mengembangkan metode pengeringan yang terjangkau untuk mengurangi kadar air dalam biomassa, bersama dengan penerapan sistem perdagangan karbon untuk mengurangi emisi pabrik sebesar 20% pada tahun 2030, akan semakin memperkuat sektor ini dan menyelaraskannya dengan ambisi energi terbarukan Indonesia.
Konferensi Kuala Lumpur menyoroti peluang Indonesia untuk mengubah potensi biomassa dari 16 juta hektare perkebunan sawit menjadi aset energi terbarukan. Dengan mengatasi tantangan teknis dan kebijakan dengan solusi praktis, Indonesia dapat mengubah biomassa yang melimpah menjadi sumber daya berharga.
Pendekatan ini tidak hanya akan membantu mencapai target energi nasional tetapi juga mendorong masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera, memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam peralihan global menuju penggunaan energi yang lebih bersih. (A3)