AGRICOM, JAKARTA — Harga Gabah Kering Panen (GKP) sempat menyentuh Rp7.500 per kg pekan lalu, melampaui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp6.500 per kg. Namun, kenaikan harga ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh petani.
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat, Otong Wiranta, menjelaskan bahwa lonjakan harga biasanya terjadi di luar musim panen utama. Sementara sentra produksi seperti Karawang, Subang, dan Indramayu justru sudah selesai panen sehingga tidak menikmati harga tinggi tersebut.
"Yang menikmati justru daerah-daerah yang terlambat tanam, seperti wilayah pesisir," ujar Otong dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (15/7). Namun, daerah pesisir umumnya menghadapi kendala seperti sistem drainase yang buruk dan pengairan yang tidak optimal, sehingga produksi gabah mereka tetap rendah.
BACA JUGA: Pemerintah Salurkan 360 Ribu Ton Bantuan Beras, Mentan Tegaskan Pengawasan SPHP
Akibatnya, meski harga tinggi, pendapatan petani di wilayah tersebut tidak meningkat signifikan. Sementara petani di sentra produksi utama tidak lagi memiliki hasil panen untuk dijual saat harga sedang naik.
Otong memaparkan bahwa biaya usaha tani di wilayah Karawang, Subang, dan Indramayu mencapai Rp27,94 juta per hektare jika termasuk sewa lahan. Tanpa sewa, biaya produksi sekitar Rp16 juta per hektare. Dengan rata-rata hasil panen 6 ton per hektare dan HPP Rp6.500/kg, petani bisa memperoleh pendapatan kotor Rp39 juta. Setelah dikurangi biaya produksi, petani hanya mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp11 juta per musim tanam atau lima bulan.
Namun, Otong juga menyoroti ketidakjelasan dalam klasifikasi petani. “Buruh tani, penyewa, hingga pemilik lahan semua disebut petani, padahal kondisi dan keuntungan mereka sangat berbeda,” ujarnya.
Sementara itu, harga GKP di sejumlah daerah dilaporkan tetap tinggi di kisaran Rp7.500 per kg, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras kualitas medium masih bertahan di Rp12.500 per kg. (A3)
Sumber: Antara