AGRICOM, JAKARTA — Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menilai pemerintah perlu menyesuaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras menyusul naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah menjadi Rp6.500 per kilogram.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin (15/7), Khudori menekankan pentingnya penyesuaian HET untuk menjaga keseimbangan insentif di seluruh rantai pasok beras, mulai dari petani hingga pelaku industri penggilingan dan distribusi.
“Tidak masuk akal jika HPP gabah naik, tetapi HET beras tetap rendah. Ini menciptakan ketimpangan,” ujar Khudori, dikutip Agricom.id dari Antara.
BACA JUGA: Harga Gabah Naik, Tapi Tak Semua Petani Menikmati Keuntungannya
Ia mengungkapkan bahwa dengan biaya produksi gabah sekitar Rp4.836/kg, petani kini mendapat margin keuntungan sekitar 34%. Namun, pelaku hilir justru menghadapi tekanan karena harus membeli gabah di pasar dengan harga tinggi—bahkan mencapai Rp7.500 hingga Rp8.000/kg—sementara penjualan beras mereka dibatasi oleh HET yang belum disesuaikan.
Kondisi ini membuat banyak penggilingan menahan distribusi beras ke pasar, yang berpotensi memicu kelangkaan dan lonjakan harga di tingkat konsumen.
Khudori juga menyoroti lambatnya penyaluran beras dari gudang Bulog, meskipun stok tersedia. Akibatnya, harga beras eceran terus menembus HET dan menjadi kontributor inflasi selama lima bulan terakhir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, rata-rata harga beras medium di tingkat konsumen selama Juni 2025 mencapai Rp13.995/kg, melebihi HET sebesar Rp12.500/kg. Sementara itu, harga beras medium di tingkat produsen berada di kisaran Rp12.800/kg, dibandingkan HPP nasional Rp12.000/kg.
Melihat kondisi tersebut, Khudori menegaskan bahwa penyesuaian HET adalah langkah strategis yang harus segera diambil. Ia juga mendorong integrasi kebijakan perberasan dari hulu ke hilir, penghentian skema pengadaan maklon yang dinilai tidak efisien, serta pembukaan jalur distribusi alternatif di luar Bulog.
“Tugas pemerintah bukan sekadar menjamin stok, tapi juga memastikan harga tetap terjangkau bagi masyarakat,” pungkasnya. (A3)