AGRICOM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, menilai temuan zat radioaktif Cesium-137 pada cengkeh asal Indonesia merupakan pukulan telak terhadap gagasan ekonomi hijau yang masuk dalam Asta Cita Presiden Prabowo.
“Cengkeh adalah rempah yang sejak lama diminati bangsa-bangsa di dunia. Sebagai produsen terbesar, kita wajib melindungi komoditas ini agar tetap bisa menjual bebas di pasar global,” ujar Alex, dalam keterangan yang diterima Agricom.id , Senin (29/9).
Pernyataan tersebut disampaikan Alex menanggapi laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) yang menemukan kontaminasi Cesium-137 pada produk cengkeh Indonesia. Kasus ini muncul setelah sebelumnya produk udang beku asal Indonesia juga dilaporkan mengandung zat serupa.
BACA JUGA:
- Panen Raya Jagung Serentak Jadi Momentum Akselerasi Swasembada Pangan
- Komisi IV DPR RI Soroti Turunnya Mutu Beras Bulog, Dorong Transformasi Kelembagaan
Meski FDA menyebut kadar radiasi pada cengkeh masih dalam batas aman, temuan ini tetap menjadi peringatan serius. Apalagi, investigasi menunjukkan adanya kontaminasi Cs-137 di dalam kontainer pengiriman.
“Tingginya kesadaran global terhadap standar keamanan pangan sejalan dengan konsep Ekonomi Hijau yang digagas Presiden. Sayangnya, implementasinya di tingkat kementerian dan lembaga belum terlihat jelas,” ungkap Alex yang juga menjabat Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Barat.
Untuk itu, ia mendesak Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) segera turun tangan melakukan penyelidikan guna memastikan sumber dan penyebab paparan radiasi tersebut.
“Hasil investigasi Bapeten, meski pahit, harus diumumkan ke publik. Transparansi penting untuk menjaga citra Indonesia sebagai eksportir utama rempah dunia,” tegasnya.
Selain menjaga reputasi ekspor, Alex menilai Bapeten juga berperan penting dalam melindungi pasar domestik dari risiko serupa. Ia bahkan mengusulkan agar Bapeten lebih aktif terlibat dalam pengawasan impor bahan pangan bersama Badan Karantina, BPOM, dan lembaga lain.
Namun, ia mengingatkan, penambahan lembaga pengawas tidak boleh menjadi beban baru bagi pelaku usaha.
“Penguatan pengawasan memang penting demi melindungi konsumen. Tapi jangan sampai kewenangan berlapis justru menghambat roda bisnis pangan nasional,” tutupnya. (A3)