Biodiesel diperkuat sebagai pilar ketahanan energi Indonesia, sementara kepastian hukum dan reformasi menjadi fondasi bagi stabilitas harga sawit, kesejahteraan petani, dan investasi nasional. Foto: Istimewa
AGRICOM, NUSA DUA, BALI — Panel diskusi hari pertama 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 menyoroti dua isu penting dalam industri sawit Indonesia: peran biodiesel bagi ketahanan energi dan kepastian hukum untuk mendukung investasi serta kesejahteraan petani. Direktur Utama BPDP, Eddy Abdurrahman, dan Kepala Pusat Studi Sawit IPB University, Prof. Budi Mulyanto, menjadi pembicara utama.
Eddy menegaskan bahwa biodiesel tidak hanya berperan sebagai energi alternatif, tetapi juga sebagai pilar stabilisasi harga sawit dan penguat ketahanan energi nasional. “Program biodiesel telah menjadikan Indonesia negara dengan pemanfaatan biofuel paling progresif,” ujarnya.
BACA JUGA:
- IPOC 2025: Kementan Genjot Produktivitas Menuju Sawit Berkelanjutan
Konsumsi biodiesel meningkat tajam dari 119 ribu kiloliter pada tahun 2009 menjadi lebih dari 15,6 juta kiloliter pada tahun 2025. Lonjakan ini didorong oleh penerapan B10 hingga B35, serta persiapan B40 nasional, yang menyerap sebagian besar CPO untuk kebutuhan domestik. Kebijakan biodiesel juga menjaga harga TBS pada kisaran Rp1.344–Rp2.932 per kg selama 2014–2024, mendukung pendapatan lebih dari 2,5 juta petani sawit.
Selain itu, biodiesel membantu menurunkan ketergantungan impor solar dari 86% pada tahun 2014 menjadi sekitar 37% pada tahun 2024, dengan proyeksi penghematan devisa mencapai Rp147 triliun pada tahun 2025. Sektor ini juga menyerap energi kerja hampir dua juta orang pada tahun 2025, meningkat dari 323 ribu pada tahun 2017, menjadikannya penggerak perekonomian nasional.
Eddy mengakui tantangan seperti kesiapan teknis, logistik di wilayah timur, dan tekanan fiskal saat harga CPO lebih tinggi dari bahan bakar solar. Ia menekankan pentingnya pentingnya pungutan, diversifikasi bahan baku, dan penguatan sertifikasi ISPO serta RSPO. “Biodiesel membuktikan bahwa energi hijau dan kesejahteraan petani bisa berjalan beriringan.BPDP berkomitmen menjaga program kemiskinan ini,” tutup Eddy, dikutip Agricom.id .
Sesi selanjutnya dibuka oleh Prof. Budi Mulyanto yang membahas tentang kepastian hukum di sektor sawit. Menurutnya, sawit kini berperan sebagai pilar strategi diplomasi ekonomi, bukan sekedar komoditas pertanian. Industri ini mengelola 16,8 juta hektare, menyumbang ekspor USD 30–40 miliar per tahun, dan menggantungkan lebih dari 16,5 juta tenaga kerja, di mana 42% lahan dikelola petani rakyat.
BACA JUGA: Ketua Umum GAPKI Ungkap Tiga Strategi Hadapi Tantangan Industri Sawit di IPOC 2025
Budi menekankan bahwa kepastian hukum bagi petani kecil harus menjadi prioritas karena sebagian lahan masih mengalami tumpang tindih status kawasan. Fragmentasi peraturan dari lebih 30 kementerian dan lembaga menyebabkan tumpang tindih kebijakan, data tidak sinkron, dan iklim investasi menjadi labil.
Ia menekankan bahwa pembenahan harus kembali pada Pasal 33 UUD 1945: sawit dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Reformasi struktural yang menyatukan hukum, kebijakan, dan diplomasi ekonomi diperlukan. Lima pilar kepastian hukum dan investasi yang ia sebut adalah: kepastian hukum, stabilitas kebijakan, tata kelola keberlanjutan, keadilan sosial, dan penguatan hilirisasi.
“Ketika hukum menghadirkan keadilan dan kebijakan memberikan stabilitas, investasi akan membangun kesejahteraan — di situlah keadilan ekonomi Indonesia berdiri,” tegas Budi. Ia menambahkan bahwa reformasi hukum harus dipandang sebagai proses menuju kejelasan yang membawa konsistensi fiskal, transparansi lembaga, dan keinginan investasi, atau disebutnya sebagai “penataan ulang struktural menuju kejelasan.”
Sebagai tindak lanjut, Budi mengusulkan pembentukan Badan Sawit Nasional sebagai jangkar diplomasi sawit Indonesia dengan prinsip “Satu Peta, Satu Data, Satu Kewenangan,” Pungkas Budi.
I kuti terus berita terkini IPOC 2025 di Agricomcom.id (A3)