Thomas Mielke mengingatkan, tanpa peningkatan produksi yang memadai, penerapan B50 dapat memicu penurunan harga minyak nabati di pasar global dan domestik. Foto: Agricom
AGRICOM, NUSA DUA, BALI — Rencana Indonesia memperluas mandatori biodiesel hingga B50 kembali mendapat sorotan tajam. Thomas Mielke, Editor sekaligus CEO Oil World, mengingatkan bahwa ambisi menuju B50 bukan sekadar soal kebijakan energi, tetapi juga soal apakah pasokan minyak nabati Indonesia benar-benar siap.
Dalam sesi Konferensi Pers di Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2025 dan Price Outlook 2026 , Mielke menyebut bahwa B50 memang “gagasan bagus”, namun belum cocok dengan kapasitas produksi minyak nabati nasional saat ini.
Menurut perhitungannya, Indonesia membutuhkan sedikitnya 2,2 juta ton minyak nabati tambahan untuk memenuhi kebutuhan B50. Angka itu bahkan bisa lebih tinggi.
“Produksi kita sekarang tidak dapat menutup celah itu,” katanya kepada Agricom.id . Ia menambahkan, bila Indonesia ingin mencapai B50, seharusnya perluasan kebun dan peningkatan produksi dilakukan jauh lebih awal sehingga pasokan tumbuh secara bertahap.
BACA JUGA:
- IPOC 2025: Biodiesel dan Kepastian Hukum, Kunci Ketahanan Energi dan Stabilitas Sawit Nasional
Kalau Dipaksakan Mulai 2026, Harga Bisa Meledak
Mielke juga menekankan bahwa penerapan B50 mulai paruh kedua 2026 dapat menggemparkan pasar dunia.
“Dampaknya sangat bullish terhadap harga minyak nabati global, dan itu pasti menular ke pasar domestik,” jelasnya.
Harga minyak goreng hingga produk turunan sawit berpotensi melonjak, memicu dilema klasik: kebutuhan energi vs stabilitas harga pangan . Pemerintah akan menghadapi tantangan berat dalam menjaga harga tetap terjangkau di dalam negeri.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik Tipis, Sementara Bursa Malaysia Melemah di Kamis (13/11)
Produksi Sawit Justru Diprediksi Turun pada tahun 2026–2027
Ironisnya, menurut Mielke, produksi minyak sawit Indonesia justru diperkirakan menurun pada tahun 2026, dan lebih tajam lagi pada tahun 2027.
Penyebabnya? Ia menyebutkan beberapa faktor: intervensi pemerintah terhadap industri hulu, perubahan kepemilikan atau penyertaan lahan, revisi aturan bagi hasil, hingga efek penurunan pemupukan dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan tren penurunan itu, Mielke menilai hampir mustahil B50 dijalankan tanpa memicu harga besar-besaran . “Harga akan naik dulu di pasar global—kemudian efeknya kembali menghancurkan pasar domestik,” tegasnya.
Indonesia Berperan Besar di Pasar Dunia—Dan Itu Pedang Bermata Dua
Sebagai eksportir minyak nabati terbesar di dunia, Indonesia memegang peran penting menjaga keseimbangan pasokan global. Mielke menyebut posisi ini sebagai prestasi besar hasil kerja pemerintah dan pelaku industri selama puluhan tahun.
Namun, ia mengingatkan, perubahan kecil saja dalam volume ekspor Indonesia dapat membuat pasar internasional goyah . Dalam skenario B50, ekspor berpotensi turun signifikan—dan dapat mengganggu keseimbangan penawaran-permintaan dunia.
B50 Bukan Sekadar Soal Energi—Tapi Soal Stabilitas Harga
Dengan kondisi produksi yang stagnan dan tren penurunan dalam dua tahun ke depan, penerapan B50 berpotensi menciptakan reaksi harga ekstrem , baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri.
“Ini isu yang sangat kompleks,” ujar Mielke, menutup pemaparannya mengenai risiko pasar, pasokan, dan kebijakan biodiesel. (A3)