Kian Pang Tan dari LSEG Singapura menegaskan bahwa penurunan produksi sawit, kebijakan B50 Indonesia, serta perubahan permintaan global akan membentuk ulang dinamika pasar minyak nabati Asia Tenggara pada tahun 2025–2026. Foto: Agricom/IPOC2025
AGRICOM, NUSA DUA, BALI — International Conference on Palm Oil (ICOP) 2025 kembali menjadi panggung penting bagi pembahasan dinamika minyak sawit global. Dalam sesi bertajuk “Southeast Asia's Palm Oil: Balancing Uncertain Supply and Shifting Demand” , Kian Pang Tan, Lead Analyst Agricultural Research dari LSEG Singapura, memaparkan analisis terbaru mengenai tren produksi, perdagangan, konsumsi, dan tantangan pasar minyak sawit di Asia Tenggara.
Kian Pang Tan memaparkan bahwa produksi minyak sawit di kawasan mengalami tekanan besar pada tahun 2025–2026. “Indonesia diperkirakan hanya menghasilkan 51–52 juta ton—lebih rendah dari tahun sebelumnya—akibat tingginya proporsi pohon tua, lambatnya peremajaan, penyusutan lahan, serta cuaca kering pertengahan tahun,” jelasnya, dikutip Agricom.id .
Malaysia juga mengalami penurunan sekitar 1% menjadi 19,2 juta ton, dipicu oleh penanaman kembali yang lambat, serangan hama, dan dominasi tanaman tua.
BACA JUGA:
- IPOC 2025: Dorab Mistry Prediksi Harga Sawit Siap Meledak, Tembus 5.500 Ringgit Awal 2026
- IPOC 2025, Menteri Rachmat Pambudy: Sawit Adalah Jembatan Persahabatan dan Kemanusiaan
Sebaliknya, Thailand menjadi satu-satunya produsen yang mencatat pertumbuhan, yakni sekitar 0,8%, berkat cuaca stabil dan perluasan area tanam.
Cuaca kering pada Mei–Juli 2025 memperbaiki kondisi di Aceh dan Sumatera Utara karena menurunnya kelembapan tanah. Meskipun hujan pada Agustus–September memberi pemulihan ruang, risiko tetap tinggi karena potensi La Niña dan musim transisi yang dipicu memicu kekeringan jangka pendek pada akhir tahun.
Arah Perdagangan Berubah: Indonesia Kurangi Ekspor, Malaysia Isi Celah
Di tengah persiapan implementasi B50, Indonesia diproyeksikan mengurangi ekspor CPO sebesar 1,5–3 juta ton pada tahun 2025–2026. Langkah ini membuka peluang bagi Malaysia untuk meningkatkan ekspor hingga 1 juta ton, sementara Thailand berpotensi memperluas akses ke pasar Uni Eropa berkat status risiko deforestasi yang lebih rendah.
Pola ekspor Indonesia semakin mengarah ke negara-negara ASEAN dan wilayah Sub-Sahara Afrika, meskipun Asia Selatan tetap menjadi pasar utama. Malaysia juga mencatat peningkatan permintaan dari Afrika, sedangkan Thailand fokus pada pasar Asia Selatan.
Konsumsi Domestik Naik, Stok Regional Menyusut
Konsumsi minyak sawit dalam negeri diperkirakan meningkat signifikan, terutama di Indonesia yang membutuhkan tambahan 1–3 juta ton seiring ekspansi biodiesel menuju B50. Malaysia juga mencatat peningkatan konsumsi dari sektor pangan dan uji coba biodiesel berbasis ESG.
Stok minyak sawit regional diperkirakan turun:
- Indonesia: ±2,5 juta ton
- Malaysia: ±2 juta ton
- Thailand: 0,4 juta ton
Meningkatnya permintaan dan melemahnya produksi menjadi faktor utama penurunannya.
Harga di Bawah Tekanan, tetapi Stabil di 2025/2026
Harga minyak sawit tekanan dari perlambatan permintaan menghadapi musiman di India, penguatan ringgit, serta dinamika pasar minyak nabati global. Namun, Kian memperkirakan harga akan cenderung stabil pada 2025/2026, didukung oleh penurunan stok dan faktor musiman.
Faktor-faktor yang akan menentukan pergerakan harga ke depan antara lain: cuaca ekstrem dan pola curah hujan, kebijakan biodiesel B50 Indonesia, risiko produktivitas dan isu pengelolaan lahan, dan regulasi internasional seperti EUDR.
EUDR diprediksi menjadi faktor bearish karena meningkatkan biaya kepatuhan dan perdagangan.
Permintaan India–Tiongkok dan Cuaca Jadi Penentu Pasar
Kian menegaskan, permintaan dari India dan Tiongkok, dua konsumen minyak nabati terbesar dunia, akan sangat mempengaruhi arah pasar 2026. Di sisi lain, gangguan panen akibat cuaca ekstrem tetap menjadi risiko terbesar bagi stabilitas pasokan.
Dalam penutupan ICOP 2025, Kian menyampaikan bahwa masa depan minyak sawit Asia Tenggara terletak di persimpangan penting, di mana efisiensi, ketahanan iklim, dan respons cepat terhadap perubahan pasar menjadi kunci daya saing global. (A3)