Pengumpul Kopi: Peran Strategis di Rantai Pasok Perlu Dimaksimalkan

Pengumpul Kopi: Peran Strategis di Rantai Pasok Perlu Dimaksimalkan
Agricom.id

15 August 2020 , 06:31 WIB

Agricom.id, JAKARTA  – Dalam rantai pasok komoditas kopi, terdapat satu peran perantara, yaitu para pengumpul yang belum banyak dieksplorasi. Studi terbaru Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan Enveritas mengungap bahwa 90% hasil kopi dari petani di Indonesia dibeli oleh para pengumpul yang mencapai lebih dari 4.000 pengumpul. Kedekatannya dengan petani dan aksesnya terhadap pasar secara faktual masih dapat dimaksimalkan sebagai daya dukung yang penting bagi rantai pasok kopi yang berkelanjutan.

Kopi merupakan salah satu komoditas di tanah air yang sangat menjanjikan, mengingat potensinya terus berkembang, baik di pasar domestik maupun internasional. 99% produksi kopi Indonesia dihasilkan oleh kelompok petani kecil. Kopi yang hasilkan berjenis robusta dan arabika. Namun produktivitas komoditas kopi Indonesia masih di bawah Vietnam, sehingga masih sangat mungkin untuk ditingkatkan.

Tantangan lainnya yang dihadapi oleh pengumpul sekaligus petani kopi saat ini adalah turunnya harga komoditas kopi akibat pandemi secara global dan berimbas pada pembatasan transportasi dan penurunan kegiatan ekspor kopi. Saat ini, harga kopi arabika di Indonesia turun karena banyaknya pembatalan pesanan. Alasannya, kedai kopi ditutup atau memiliki jam operasional yang terbatas.

“Kami menyadari, para pengumpul memiliki peran dan fungsi penting dalam rantai pasok kopi Indonesia, juga di negara-negara produsen kopi lain, seperti, Vietnam, Kolombia, dan Uganda. Di Indonesia, pengumpul tidak hanya terlibat dalam jual-beli kopi dengan petani, tetapi memberikan dukungan lain kepada petani, seperti, akses terhadap agri-input, akses finansial, dan sebagainya. Jika terdapat kolaborasi yang efektif dan adaptif antara pengumpul, petani kopi dan aktor lain dalam rantai pasok kopi, khususnya dalam situasi pandemi saat ini, diharapkan dapat menjaga stabilitas pasar kopi di Indonesia dan mendorong ekosistem bisnis kopi yang berkelanjutan. Untuk itu, Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) tertarik mempelajari dan menerapkan hasil studi tentang pengumpul untuk meningkatan rantai pasok kopi Indonesia,” tutur Direktur Eksekutif SCOPI, Paramita Mentari Kesuma,  pada diskusi kopi (Disko) secara virtual dengan tema “Peran Pengumpul dalam Prospek Bisnis Kopi Berkelanjutan”, dalam keterangan tertulis yang diterima Agricom.id.

Studi yang dilakukan di empat negara penghasil kopi – Indonesia, Vietnam, Uganda, dan Kolombia – dari 2018 hingga 2020 ini memotret kemiripan peran para pengumpul di keempat negara tersebut. Khusus di Indonesia, studi ini mengungkap, ada tiga jenis pengumpul, yaitu di tingkat desa, tingkat kabupaten/kota, dan agen. Ketiganya memberikan layanan yang serupa kepada petani, antara lain memberikan pinjaman, menyediakan pupuk dan benih berkualitas, serta melakukan pelatihan.

Pemimpin Operasional Enveritas wilayah Asia, Senthil Nathan menegaskan bahwa secara tidak langsung, para pengumpul ikut membangun kesejahteraan petani karena terdapat hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain. “Studi kami merekomendasikan beberapa ide untuk mereformasi bisnis kopi. Ide tersebut, antara lain, menciptakan akses pasar yang lebih modern dengan menggunakan teknologi, memberikan akses pinjaman, melakukan pelatihan bisnis dan keuangan bagi para pengumpul, menciptakan sistem transportasi yang lebih efektif, memberikan bukti tanda terima yang dapat menandakan tingkat kualitas kopi petani, dan memperluas jenis layanan para pengumpul di luar sebagai pembeli,” tuturnya.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Manager Of Sustainability Management Services (SMS) PT.Indo Cafco, Wagianto. “Saya melihat potensi peran pengumpul untuk membantu para petani sebagai mitra kerjanya. Namun, para pengumpul belum dapat membantu secara maksimal karena keterbatasan modal dan akses keuangan,” ungkapnya.

Menurut Wagianto, pengumpul dapat mereplikasi peran keberlanjutan yang dilakukan perusahaan kepada petani. Hanya saja, mereka tetap memerlukan pendampingan perusahaan dan bantuan dari pemerintah ataupun lembaga keuangan lainnya untuk mendukung kegiatan ini. “Saat ini, perusahaan sedang mengembangkan kemitraan dengan para pengumpul, berkaitan dengan kegiatan usaha lainnya yang dapat mendukung kegiatan utama mereka sebagai pengumpul kopi, serta memfasilitasi para pengumpul dan petani untuk mendapatkan akses permodalan,” tutupnya.

Semua fakta di atas disepakati oleh Hadi Kusuma, pengumpul kopi robusta di Kecamatan Semendo, Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. “Banyak petani mengajukan pinjaman kepada kami untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tentu kami juga ingin membantu sekaligus mengembangkan usaha kami, tetapi mendapatkan modal usaha saja cukup sulit, meskipun sudah mengajukan modal ke bank atau koperasi. Untuk mendapatkan modal usaha, saya harus mencari pendapatan lain, seperti, bertani, menjadi perangkat desa, dan menjual sayuran.”

Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, banyak tantangan, baik di hulu maupun di hilir rantai pasok kopi Indonesia, perlu ditata kembali. Setelah mamasuki masa pandemi, tantangan tersebut semakin besar.

“Perlu upaya yang cukup berani untuk mengubah cara ‘bisnis pada umumnya’ agar kopi tetap menjadi komoditas unggulan dari Indonesia, serta memberikan manfaat bagi petani dan lingkungan. Studi ini menunjukkan potensi nyata untuk memperbaiki tata kelola rantai pasok kopi Indonesia. Kami berharap, semua pemangku kepentingan dapat melihat peran strategis dari pelaku aktif perkopian di lapangan, termasuk kelompok pengumpul, untuk menjamin keberlanjutan rantai pasok dan membawa keuntungan bagi semua pihak,” tutup Fitrian Ardiansyah, Ketua Pengurus Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH). (A2)

 

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP