Agricom.id, JAKARTA - Ekspor kopi hingga saat ini sudah berjalan ke sejumlah negara. Dari sekitar 600 ribu ton/tahun produksi kopi nasional, sekitar 60%-nya untuk memenuhi pasar ekspor. Diantara tujuan ekspor komoditas kopi tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, China, Rusia, dan Timur Tengah. Ketua Umum Dewan Kopi Indonesia (Dekopi),Anton Apriyantono mengatakan, ekspor kopi hingga saat ini sudah berjalan. Bahkan, sejumlah negara tujuan ekspor banyak yang berebur barang (kopi, red) dari Indonesia. Mengingat, kualitas kopi yang dihasilkan petani seperti kopi rubusta cukup bagus.
“Hanya saja, yang menjadi persoalan saat ini harga komoditas kopi, khususnya robusta sedang tertekan. Pesaing kita adalah Vietnam yang menjual di bawah Rp 20 ribu/kg di tingkat eceran. Kalau di tingkat petani harganya tentu lebih rendah lagi,” papar Anton Apriyantono, dalam sebuah diskusi, di Jakarta belum lama ini.
Anton juga mengatakan, sekitar 70%-75% kopi yang dihasilkan petani adalah jenis robusta. Kopi robusta ini termasuk kopi komoditi atau biasa yang harganya ditentukan dunia. “Soal kualitas, kopi robusta yang yang dihasilkan petani cukup bagus. Sedangkan kualitas kopi yang dihasilkan Vietnam lebih rendah. Tapi, pasar tak selalu butuh kualitas bagus, yang penting harganya murah. Sebab, kopi komoditi seperti ini sudah masuk ranahnya industri,” papar Anton dalam keterangan resmi diterima Agricom.id.
Menurut Anton, pesaing ekspor kopi Indonesia adalah Brazil, Vietnam dan Colombia. Bahkan, sejumlah negara seperti China, Afrika (Etiopia dan Kenia) saat ini juga sudah mulai masuk ke pasar dunia. “Karena produk kita 75% kopi robusta, kita berhadapan lansung dengan Vietnam yang produktivitasnya tinggi,” ujarnya. Nah, agar petani kopi Indonesia tetap berdaya saing, lanjut Anton, dalam jangka panjang perlu dilakukan perbaikan dari hulu hingga hilir. Di hulu, budidaya kopi perlu diperbaiki dengan bibit unggul supaya produktivitasnya tinggi. Sedangkan di hilirnya perlu penangan pasca panen yang lebih bagus lagi supaya petani ada nilai tambahnya. “Kalau kopi spesialty (arabika) tak ada masalah dengan harga. Karena harganya juga khusus dan kita sendiri bisa menentukan harganya,” ujar Anton,
Lebih lanjut kata Anton, dalam kondisi seperti ini eksportir juga tertekan. Sehingga, sebagian sebagian eksportir saat ini lebih memilih untuk ekspor kopi arabika. “Tujuan negara ekspor kopi arabika diantaranya, Uni Eropa dan Amerika Serikat,” kata Anton. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementan menyebutkan, dari produksi kopi pada tahun 2017 sebanyak 668,68 ton, sebanyak 69,9% atau senilai US$ 1,19 miliar untuk kebutuhan ekspor. Sedangkan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri.
Bahkan, dari sisi volume ekspor kopi ke sejumlah negara dari tahun 2016 sampai tahun 2017 mengalami peningkatan sebanyak 467,79 ton. Sedangkan negara tujuan ekspor adalah USA, Malaysia, Jepang, India, Mesir, Inggris, Belgia, Italia, dan Rusia. Umumnya, kopi yang diekspor dalam berupa biji kopi robusta dan arabika. Dari luas areal kopi sebanyak 1.246.657 ha ini sebanyak 73% berupa kopi robusta dan 27% kopi arabika. Lahan kopi yang relatif cukup luas tersebut, produksinya sebanyak 663.781 ton/tahun. Sedangkan produktivitas kopi yang ditanam petani relatif rendah, rata-rata sekitar 714 kg/ha. Produktivitas kopi di tanah air ini masih jauh dibanding kopi manca negara. Bahkan, posisi kopi Indonesia saat ini berada peringkat empat dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia.
Data Ditjenbun Kementan menyebutkan, luas areal kopi Brazil tercatat hampir 2 juta ha dengan produktivtas 1,4 ton/ha. Sedangkan luas areal kopi di Vietnam 589 ribu ha dengan produktivitas 2,3 ton/ha , dan Kolombia luas 795 ribu ha dengan produktivitas 0,9 ton/ha. Selain produktivitas kopi di tanah air masih rendah, dari lahan kopi yang ada sebanyak 96% adalah lahan kopi rakyat (perkebunan rakyat). Rata-rata kepemilikan lahan mereka 0,6 ha. Pada tahun 2018, Ditjen Perkebunan Kementan mengembangkan kawasan kopi nasional di 16 provinsi. Diantaranya, Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Papua di lahan seluas 16.400 ha. Kegiatan pengembangan kopi diantaranya, rehabilitasi kopi robusta di 1 provinsi 2 kabupaten seluas 410 ha, intensifikasi kopi arabika di 8 provinsi 14 kabupaten di lahan seluas 2.740 ha.
Ditjen Perkebunan pada tahun 2018 juga melakukan perluasan kopi arabika di 6 provinsi/127 kabupaten seluas 2.950 ha, dan perluasan kopi robusta di 1 provinsi/1 kabupaten seluas 100 ha. Kemudian peremajaan kopi robusta di 2 provinsi/3 kab seluas 1.180 ha dan peremajaan kopi arabika di 6 provinsi/ 19 kabupaten seluas 5.970 ha. Kopi yang dikembangkan di sejumlah sentra kopi ini dilakukan dengan memanfaatkan benih/bibit kopi benih unggul. Hal ini dilakukan agar produktivitas kopi yang ditanam petani bisa meningkat. Seperti varietas arabika komasti, yang potensi produksinya rata-rata 2,1 ton/ha. Begitu juga dengan varietas s 995 yang potensi produksinya 1,5 ton/ha, varietas gayo 1 (1,5 ton/ha), varietas gayo 2 (1,3 ton/ha), varietas sigarar utang (2 ton/ha), dan varietas andungsari 1 (2.5 ton/ha). (A2)