AGRICOM, JAKARTA – Program biodiesel yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia menjadi salah satu solusi strategis dalam mencapai ketahanan energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, agar visi ini benar-benar terwujud, keterlibatan petani sawit swadaya perlu diprioritaskan. Sebagai pemain penting dalam rantai pasok kelapa sawit, para petani ini memegang peran yang tak bisa diabaikan.
Tercatat pentingnya keterlibatan petani swadaya dalam program biodiesel demi keberlanjutan. Pemerintah harus segera mengatur pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak, baik perusahaan maupun petani. Jika pola kemitraan ini dirancang dengan baik, program biodiesel yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo dapat berjalan optimal.
Mengapa penting melibatkan petani swadaya? Terdapat beberapa alasan utama. diantaranya, perkebunan sawit swadaya menguasai sekitar 40 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Ini adalah angka yang signifikan, yang menunjukkan bahwa ketahanan rantai pasok tidak mungkin tercapai tanpa peran serta mereka. Jika petani swadaya tidak dilibatkan, pemerintah kehilangan potensi besar dalam pemanfaatan lahan.
BACA JUGA: Mentan Andi Amran Sulaiman Gerak Cepat Wujudkan Swasembada Pangan Indonesia
Lantas, memasukkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel adalah langkah konkret dalam membantu perekonomian rakyat kecil. Mayoritas petani sawit swadaya adalah petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan. Melalui program biodiesel, harapannya mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar, sehingga kesejahteraan mereka meningkat.
Sayangnya diungkapkan Sabarudin, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), bahwa program biodiesel yang diluncurkan pada 2015 oleh Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit. Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, hingga saat ini, kemitraan tersebut belum terealisasi secara merata.
"Program biodiesel ini sudah berjalan cukup lama sejak 2015, namun kemitraan antara petani dan perusahaan biodiesel masih jauh dari harapan. Kami melakukan riset kecil di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel," ujar Sabarudin, dalam acara Diskusi Keberlanjutan Biodiesel, dengan tema “Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industry Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit“, Kamis (24/10/2024) di Jakarta yang dihadiri Agricom.id.
Sebab itu, SPKS menekankan pentingnya adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan biodiesel bermitra dengan petani, terutama di wilayah konsesi perusahaan. Sabarudin menyatakan bahwa SPKS terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas. Saat ini, produktivitas petani sawit masih rendah, hanya sekitar 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar/tahun, jauh di bawah produktivitas perusahaan yang mencapai 25 ton TBS per hektar/tahun.
"Ke depan, pengembangan biodiesel harus melibatkan petani secara lebih intensif agar dampaknya benar-benar dirasakan. Selain itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan akses terhadap pupuk serta bibit unggul harus menjadi fokus pemerintah baru untuk meningkatkan produktivitas petani," tambahnya.
Sabarudin berharap agar evaluasi terhadap program B50 dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya petani, agar kemitraan antara petani dan pelaku industri biodiesel dapat segera terwujud.
Sementara Ahmad Kailani, Ketua Umum Perisai Prabowo, menegaskan komitmennya untuk mengawasi dan memastikan kebijakan biodiesel, khususnya campuran biodiesel 50 persen (B50), berjalan sesuai dengan kepentingan petani. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, terutama yang berdampak langsung pada petani sawit.
"Saya adalah penyidik di KPPU dan bersentuhan langsung dengan kondisi di lapangan, terutama dengan petani kecil. Saya melihat bagaimana buah sawit yang sudah matang harus segera dibeli, jika tidak akan membusuk. Kedepannya, pengusaha besar akan menjadi mitra pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, dan kami di Perisai serta SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) akan mengawasi setiap kebijakan agar adil bagi petani," ujar Kailani.
Kailani menambahkan bahwa kebutuhan petani sawit tidak hanya sebatas penyediaan bibit atau dalam proses peremajaan lahan, tetapi juga harus terlibat dalam setiap kebijakan terkait industri sawit. BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang selama ini dikelola untuk mendukung peremajaan tanaman sawit juga harus diperhatikan dengan baik, mengingat banyak tanaman sawit yang telah berusia di atas 25 tahun membutuhkan peremajaan.
"BPDPKS itu merupakan dana petani yang disimpan untuk peremajaan tanaman sawit. Namun, masa peremajaan ini harus tepat waktu dan merata bagi petani yang membutuhkan. Banyak lahan sawit yang sudah di atas 25 tahun dan harus segera ditanam ulang agar produktivitas tetap terjaga," ungkapnya.
Menurut Kailani, alasan utama Perisai Prabowo dan SPKS ikut dalam isu ini adalah karena Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI terpilih, sangat memperhatikan kesejahteraan petani dan berkomitmen untuk memastikan peran mereka tidak diabaikan. "Prabowo sangat konsisten dengan hak-hak petani. Kebijakan pemerintah ke depan tidak hanya akan berada di angan-angan, tapi harus membumi dan berdampak langsung pada petani melalui kemitraan dengan pelaku usaha," tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan B50 ini harus memberikan manfaat nyata bagi petani sawit dan tidak hanya menguntungkan pengusaha besar. "Kebijakan biodiesel harus berdampak positif bagi masyarakat, terutama petani sawit. Kami akan terus mengawal agar kemitraan ini tidak merugikan petani kecil," tutupnya.
Edi Wibowo, Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, mengutarakan pentingnya pengembangan biodiesel yang berkelanjutan, termasuk rencana menuju implementasi B100 di masa depan. Program biodiesel 100 persen (B100) yang berbahan baku minyak sawit mentah (CPO) masih dalam tahap penelitian, dan karakteristik bahan bakar ini diharapkan lebih baik dibandingkan alternatif yang ada saat ini.
"Kita sedang mempersiapkan B100, namun masih dalam tahap penelitian untuk memastikan kestabilan dan efisiensinya. Karakter biodiesel dari sawit bisa lebih unggul, namun ada beberapa tantangan teknis yang perlu diatasi sebelum bisa mencapai komersialisasi penuh," ujar Edi.
Edi menjelaskan bahwa pengembangan biodiesel tidak hanya melibatkan Kementerian ESDM, tetapi juga kolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk perusahaan sawit dan petani. Pemerintah bersama pihak-pihak terkait sedang menyusun kebijakan keuangan dan insentif untuk mendukung komersialisasi biodiesel, khususnya terkait kemitraan antara petani plasma, petani swadaya, dan perusahaan produsen biodiesel.
"Produksi biodiesel sangat bergantung pada kelapa sawit sebagai bahan baku utama. Oleh karena itu, peran petani sawit, baik plasma maupun swadaya, sangat penting. Kemitraan antara petani dan perusahaan harus terus ditingkatkan agar program biodiesel tidak hanya sukses di sektor industri, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi petani sawit," tambahnya.
Edi juga menyinggung pentingnya pengembangan teknologi untuk mendukung penerapan biodiesel di berbagai sektor, termasuk alat berat, mesin diesel, alat pertanian, dan pembangkit listrik. Pemerintah berkomitmen untuk melakukan penelitian yang berkelanjutan guna memastikan transisi yang mulus dari program biodiesel B20, B30, B35, hingga akhirnya B100.
"Seperti sebelumnya, pengembangan biodiesel selalu dimulai dengan uji coba dan penelitian bersama, seperti yang dilakukan pada program B20, B35, dan seterusnya. Kita melibatkan berbagai pihak untuk memastikan keberhasilan program ini, mulai dari aspek teknis hingga sosial, sehingga dapat memberikan dampak positif secara luas," kata Edi. (A3)