AGRICOM, JAKARTA – Di tengah sorotan global terhadap industri sawit, Indonesia terus memperkuat komitmen keberlanjutan melalui sertifikasi ISPO. Lebih dari sekadar persyaratan administratif, ISPO kini dikembangkan sebagai sistem integratif dari hulu ke hilir, melibatkan banyak kementerian dan pemangku kepentingan.
Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Ratna Sariati, menegaskan bahwa Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bukan hanya simbol sertifikasi, melainkan sebuah sistem terpadu yang memastikan pengelolaan kelapa sawit dilakukan secara berkelanjutan. Sertifikasi ini mencerminkan bahwa kegiatan usaha sawit memenuhi standar ekonomi, sosial-budaya, serta ramah lingkungan dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ratna menjelaskan, dasar hukum ISPO merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 2, 3, dan 62. Ketentuan implementatifnya dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020, yang kini telah diperbarui menjadi Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
BACA JUGA:
- Kemenperin Siapkan Skema ISPO Hilir untuk Perkuat Daya Saing Produk Olahan Sawit
- Solidaridad Indonesia Dorong Sertifikasi ISPO bagi Petani Sawit Rakyat
Salah satu poin penting dalam Perpres terbaru adalah perluasan ruang lingkup ISPO dari sektor hulu ke hilir. Ini mencakup industri olahan dan bioenergi, sehingga tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, tetapi juga melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Perluasan ini diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan dan pembaruan skema pembiayaan. Saat ini, proses sertifikasi ISPO bagi pekebun bisa dibiayai melalui APBN, APBD, atau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” ujar Ratna dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Wisma Tani Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Ratna juga menekankan bahwa pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan ISPO dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran, denda, hingga penghentian sementara kegiatan usaha.
Per Februari 2025, sebanyak 1.157 pelaku usaha telah memperoleh sertifikasi ISPO dengan total lahan seluas 6,2 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 84 persen merupakan perusahaan swasta, 9 persen BUMN, dan 7 persen pekebun rakyat. Secara total, Indonesia telah melampaui Malaysia dalam hal luas area perkebunan sawit yang telah tersertifikasi berkelanjutan.
Saat ini, Kementerian Pertanian sedang menyusun pembaruan terhadap Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2020 sebagai turunan dari Perpres terbaru. Peraturan ini diperlukan untuk mendukung pelaksanaan teknis sertifikasi ISPO yang lebih luas dan inklusif. (A3)