AGRICOM, JAKARTA – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan stok beras nasional saat ini dalam kondisi surplus, namun harga di pasar masih menunjukkan anomali. Menurutnya, ketidakstabilan harga lebih disebabkan oleh faktor struktural dan dinamika perilaku pasar.
Menangapi isu banyaknya penggilingan padi kecil yang termasuk tutup, Amran menilai informasi itu tidak sepenuhnya tepat. Ia menjelaskan persoalan utamanya terletak pada keseringan kapasitas giling dengan produksi padi nasional, bukan semata-mata karena penutupan baru-baru ini.
“Sekarang ada tiga klaster penggilingan: kecil, menengah, dan besar. Jumlahnya masing-masing 161.000 unit kecil, 7.300 menengah, dan 1.065 besar. Jelas ya,” katanya usai menghadiri konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).
BACA JUGA: Hilirisasi Perkebunan Dipercepat, Kementan Gandeng Multipihak
Amran memaparkan, kapasitas giling penggilingan kecil saja mencapai 116 juta ton per tahun, sementara produksi padi nasional hanya sekitar 65 juta ton. Artinya, kapasitas yang tersedia jauh lebih besar dari produksi sehingga banyak mesin tidak beroperasi secara optimal. “Kalau kapasitas 116 juta ton, tapi produksi padi hanya 65 juta ton, jelas banyak yang idle,” tegasnya.
Ia menambahkan, kabar mengenai penggilingan kecil yang tutup sebenarnya bukan fenomena baru. Kondisi tersebut sudah lama terjadi akibat struktur pasar yang timpang. Faktor musiman ikut memperkuat situasi ini. Produksi padi yang dominan di semester pertama (70% total produksi nasional) membuat banyak gabah sudah digiling pada awal tahun, sedangkan di semester kedua pasokan bahan baku menurun.
Amran juga menyoroti ketimpangan harga. Penggilingan besar sering mampu membeli gabah dengan harga lebih tinggi, sehingga mengurangi daya saing penggilingan kecil. “Kalau yang kecil beli ikut Rp6.500, yang besar bisa Rp6.700. Kalau yang kecil naik Rp6.700, yang besar beli Rp7.000. Akhirnya yang kecil terganggu,” jelasnya.
BACA JUGA: Limbah Batang Kelapa Disulap Jadi Kerajinan Bernilai Ekspor di Sabang
Meski begitu, ia melihat dinamika pasar belakangan membawa peluang. Penurunan penjualan beras premium di ritel modern diikuti dengan meningkatnya permintaan di pasar tradisional. “Itu justru berkah bagi penggilingan kecil dan pasar tradisional karena mereka kembali mendapat pasokan,” ujarnya, dikutip Agricom.id dari laman resmi Kementan.
Dengan stok beras tersisa sekitar 23 juta ton di sisa tahun ini, sementara total kapasitas giling mencapai 165 juta ton, Amran menilai wajar jika tidak semua penggilingan bisa beroperasi penuh. Keterbatasan pasokan membuat penggilingan kecil sering kalah bersaing. “Mudah-mudah ke depan akan terbentuk struktur pasar baru yang lebih sehat,” tambahnya.
Selain masalah kapasitas, Amran juga menyinggung adanya praktik curang yang ikut memicu terjadinya harga. Beberapa pihak sengaja menaikkan harga beras jauh di atas standar, dan sejumlah tersangka telah ditetapkan.
Berdasarkan pantauan Kementan, harga beras kini mulai turun di berbagai daerah, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Namun, di Sumatera Utara harganya masih relatif tinggi.
Amran juga berpendapat bahwa tingginya harga beras menyebabkan penyerapan besar oleh Bulog. Ia menegaskan, porsi Bulog hanya sekitar 8 persen dari total beras yang beredar, sedangkan 92 persen dikuasai swasta. “Jadi bukan Bulog alasannya,” tegasnya.
Ia memastikan pemerintah bersama kementerian terkait terus melakukan rapat koordinasi untuk mencari solusi terbaik. Amran optimistis langkah-langkah yang disepakati akan menghasilkan struktur pasar beras yang lebih sehat dan menguntungkan semua pihak, terutama petani. (A3)