Analis Bloomberg Intelligence, Alvin Tai, memperingatkan bahwa negosiasi tarif timbal balik antara AS dan Indonesia yang sedang berlangsung dapat mengubah lanskap perdagangan minyak sawit global, membuka peluang baru namun juga berisiko menyebabkan terjadinya impor produk pertanian AS ke Indonesia. Foto: Agricom/IPOC2025
AGRICOM, NUSA DUA, BALI — Isu tarif resiprokal dengan Amerika Serikat menjadi salah satu topik paling strategis dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2025. Alvin Tai, Analis Soft Commodities dari Bloomberg Intelligence, memaparkan bagaimana kebijakan perdagangan baru Washington berpotensi mengubah peta ekspor sawit di kawasan, sekaligus menciptakan tekanan besar bagi Indonesia.
Malaysia berhasil mencapai lebih maju melalui perjanjian perdagangan bilateral terbarunya dengan Amerika Serikat. Dalam kesepakatan tersebut, Negeri Jiran memperoleh Tarif umum 19% , namun Tarif 0% untuk kelapa sawit, kakao, dan karet .
Sebagai imbalannya, Malaysia berjanji kepada AS untuk Mengimpor semikonduktor, komponen dirgantara, dan peralatan pusat data senilai USD 150 miliar dalam lima tahun , membeli produk batu bara dan telekomunikasi USD 204 juta dalam sepuluh tahun , menanam modal investasi USD 70 miliar , dan menghapus hambatan ekspor mineral tanah jarang .
BACA JUGA:
- IPOC 2025: Pietro Paganini Soroti Peran Persepsi Publik dalam Masa Depan Industri Sawit
- IPOC 2025: Analis Oil World Thomas Mielke Ingatkan Program B50 Bisa Jadi Pedang Bermata Dua
Menurut Alvin, langkah ini membuka jalan bagi Malaysia untuk mempertahankan daya saing minyak sawitnya di pasar AS, sekaligus memperkuat kemitraan strategi di sektor teknologi.
Indonesia Masih Bernegosiasi: Tuntutan AS Tidak Utama-utama
Indonesia belum mencapai titik temu dengan Amerika Serikat. Berdasarkan analisis Alvin Tai, Washington mengajukan paket permintaan besar sebagai ketidakseimbangan atas potensi tarif sawit yang lebih rendah. Permintaan tersebut mencakup:
- Peningkatan pembelian produk energi hingga USD 15 miliar per tahun,
- Pembelian produk pertanian AS bernilai USD 4,5 miliar per tahun,
- Pembelian 50 pesawat Boeing ,
- Penurunan tarif hingga 99% untuk produk makanan, industri, dan pertanian, serta
- Penghapusan berbagai hambatan non-tarif untuk komoditas pertanian AS .
Kesepakatan ini dipandang sebagai dampak lanjutan dari perang dagang AS–Tiongkok, sekaligus upaya Amerika Serikat mengatasi defisit perdagangan historis dengan Indonesia. Pada tahun 2024 saja, defisit AS tercatat mencapai USD 17,8 triliun .
BACA JUGA: IPOC 2025, Menteri Rachmat Pambudy: Sawit Adalah Jembatan Persahabatan dan Kemanusiaan
Alvin mengingatkan bahwa kesepakatan tarif baru ini dapat membawa konsekuensi besar: pasar Indonesia berpotensi menghasilkan produk agrikultur AS senilai lebih dari USD 4,5 miliar , yang bisa merugikan produsen lokal.
Rupiah Tertekan, Neraca Pembayaran Negatif: Indonesia Harus Bergerak Cepat
Dalam paparannya, situasi makro Indonesia semakin menantang. Neraca pembayaran melemah , dan Rupiah terdepresiasi ke terendah dalam sejarah dibandingkan dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan posisi baht Thailand.
Dengan tekanan tersebut, Indonesia harus menggencarkan strategi peningkatan ekspor demi menjaga stabilitas neraca perdagangan. Industri sawit—sektor dengan kontribusi ekspor raksasa—menjadi tumpuan utama.
Namun, Alvin mengingatkan bahwa rencana penerapan B50 dapat menimbulkan dilema. Jika terlalu banyak pasokan sawit dialihkan ke biodiesel domestik, kemampuan ekspor Indonesia bisa melemah justru ketika negara membutuhkan surplus perdagangan.
Diplomasi Jadi Penentu Masa Depan Sawit Indonesia
Alvin menegaskan, apa pun hasil negosiasi Indonesia–AS, dampaknya akan sangat besar bagi industri sawit. Tarif yang tidak kompetitif dapat meningkatkan posisi Indonesia terhadap Malaysia. Sebaliknya, kesepakatan yang tepat akan membuka peluang ekspor baru dan membantu stabilisasi neraca perdagangan nasional.
“Diplomasi dan kecerdikan negosiasi akan menentukan apakah Indonesia menang atau tidaknya menahan gelombang tarif resiprokal,” tegasnya.
Dengan kondisi global, perang dagang, dan ancaman banjir impor, Indonesia harus menyusun langkah-langkah strategi yang presisi. Tahun 2026 diperkirakan menjadi titik krusial yang akan menentukan arah jangka panjang industri sawit Nusantara. (A3)