Acara penutupan Proyek GRASS menandai berakhirnya enam tahun kolaborasi GIZ, BMZ, dan Kementerian Pertanian RI dalam memperkuat ketahanan petani swadaya di Kapuas Hulu. Program ini sukses meningkatkan pendapatan petani hingga 15% dan menjadi landasan kerja sama baru melalui Green Climate Fund (GCF) 2025–2032. Foto: Pertanian
AGRICOM, JAKARTA — Proyek GRASS (Greening Agricultural Smallholder Supply Chains) resmi memasuki babak akhir setelah enam tahun berjalan. Acara penutupan yang digelar di Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 18 November 2025, merupakan momentum penting untuk merefleksikan capaian sekaligus mengungkap kolaborasi masa depan untuk pertanian berkelanjutan.
Acara ini dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan, di antaranya Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian RI, Baginda Siagian , Perwakilan BMZ di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Angelika Stauder , Perwakilan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, Ferry Suryanata , Country Director GIZ Indonesia, Hans-Ludwig Bruns , dan Stephan Kitzbichler , Implementation Manager GRASS.
BACA JUGA:
Enam Tahun Upaya Memperkuat Petani Swadaya
Sejak bergulir pada tahun 2019, Proyek GRASS merupakan inisiatif kolaboratif antara GIZ dan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI, dengan pendanaan dari BMZ, Pemerintah Federal Jerman. Selama tiga tahun terakhir, fase kedua proyek ini fokus pada peningkatan ketahanan petani swadaya di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
GRASS dirancang untuk mengatasi tantangan yang dihadapi petani skala kecil dalam rantai pasokan pertanian, mulai dari produktivitas yang rendah, akses pasar terbatas, hingga risiko perubahan iklim yang semakin meningkat. Melalui pendekatan yang terintegrsi, proyek ini berhasil mengangkat kesejahteraan petani sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan.
BACA JUGA: IPOC 2025: Kementan Genjot Produktivitas Menuju Sawit Berkelanjutan
Baginda Siagian menegaskan pentingnya legalitas lahan melalui Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). STDB dipandang sebagai kunci utama untuk memperoleh sertifikasi ISPO, sekaligus menjadi persyaratan yang semakin ditekankan oleh regulasi Eropa, khususnya EUDR, yang menuntut kejelasan dokumen dari hulu hingga hilir.
Melalui program GRASS, GIZ telah mendukung pemerintah dalam memperkuat aspek kemiskinan. Ke depan, proyek ini akan melanjutkan program Green Climate Fund (GCF) dengan cakupan yang lebih besar dan durasi lebih panjang, sekitar 7–8 tahun, mencakup tambahan 5–7 kabupaten baru.
“Meskipun program GCF berkembang ke wilayah baru, petani-petani yang sudah terlibat sejak awal tetap mendapat pelatihan berkelanjutan dan tidak diabaikan,' harap Baginda, dalam acara yang menghadirkan Agricom.id
Sementara itu, Angelika Stauder menjelaskan Pemerintah Jerman sangat menghargai kemitraannya dengan Indonesia dan menganggap negara ini sebagai aktor kunci dalam mencapai tujuan global terkait iklim dan keanekaragaman hayati. Proyek GRASS sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Indonesia untuk Pertanian Berkelanjutan dan rencana strategis kementerian.
“Tujuan utamanya adalah meningkatkan ketahanan ekonomi dan lingkungan petani kecil dalam rantai pasok global. Oleh karena itu, proyek ini telah menunjukkan bahwa petani yang tangguh adalah fondasi dari rantai pasok yang tangguh. Rantai pasok global hanya dapat berkelanjutan jika mata pencaharian,” jelasnya.
Menurut Ferry Suryanata , Pemerintah daerah sangat terbantu dengan hadirnya GIZ dengan program GRASS ini dan berharap juga ke depan mungkin dengan program-program lain di masa depan.
“Tertangannya adalah merombak pola pikir masyarakat, bagaimana memproduksi komoditas sesuai dengan kualitas dan sesuai standar berkelanjutan. Terkait dengan STDB, kami sudah memberikan sekitar 1300 kepada petani,” ungkap Feri.
Hans-Ludwig Bruns , menyampaikan apresiasi terhadap keberhasilan proyek GRASS dan menjelaskan kunjungannya ke Kapuas Hulu yang memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi petani kecil. Ia menekankan bahwa petani swadaya dengan lahan yang sangat kecil fondasinya menjadi penting rantai pasok komoditas global, namun menghadapi ancaman besar seperti ancaman harga, penyakit tanaman, dan dampak perubahan iklim.
Program ini mencakup 30 desa di Kapuas Hulu, wilayah yang telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer. Pencapaian penting lainnya adalah tingginya partisipasi perempuan dalam program ini.
“Proyek GRASS dirancang untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan lingkungan petani melalui pertanian cerdas iklim, diversifikasi usaha, pemberdayaan kelompok, kolaborasi dengan pemerintah daerah dan sektor swasta, serta digitalisasi,” ujarnya.
Senada, Stephan Kitzbichler menambahkan, Secara khusus apa yang kita implementasi adalah praktik-praktik pertanian berkelanjutan termasuk permakultur, agroforestri, tumpang sari, pertanian cerdas. Selain pelatihan dalam praktik pertanian, GRASS juga membantu petani untuk mendapatkan sertifikat lahan, motivasinya agar dapat meningkatkan produksinya dengan praktik berkelanjutan.
Kami juga mendorong inovasi dan teknologi khususnya pelatihan secara digital melalui aplikasi, sudah ada 6 modul dengan tema dan praktik pertanian yang baik untuk sawit, karet, coklat, kopi, agribisnis, dan agroforestri.
Untuk akses pemasaran, khususnya di daerah terpencil seperti Kapuas Hulu sangat penting agar memperoleh pendapatan, karena itu kami membantu untuk memperkenalkan sektor swasta di masing-masing komoditas, sehingga pembelian sudah terikat.
“Itu akan menjadi warisan dari GRASS, karena petani bisa menjual produknya langsung ke produsen,” jelasnya.
Dampak Nyata di Lapangan
Dalam implementasinya, Proyek GRASS mendorong inovasi melalui Agroforestri untuk meningkatkan keanekaragaman lahan dan keanekaragaman hayati, Permakultur untuk efisiensi penggunaan sumber daya alam, Diversifikasi usaha pertanian yang membuka peluang ekonomi baru bagi rumah tangga petani, dan Teknologi digital sebagai alat pencatatan, pemetaan, dan pemasaran hasil pertanian.
Berbagai intervensi tersebut menghasilkan peningkatan pendapatan petani hingga rata-rata 15% , sekaligus memperluas akses pasar mereka. Selain itu, praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan membuat petani semakin siap menghadapi tekanan perubahan iklim.
Menandai Akhir dan Awal Baru
Acara penutupan ini bukan hanya merayakan keberhasilan GRASS S, tetapi juga menjadi gerbang menuju fase lanjutan kerja sama internasional. Pada tahun 2025–2032, kerja sama baru akan dilanjutkan melalui program Green Climate Fund (GCF) yang menitikberatkan pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalimantan Barat.
Program GCF akan menjadi landasan untuk memperkuat kapasitas daerah dalam menghadapi tantangan iklim melalui kebijakan hijau, penguatan komunitas lokal, serta inovasi teknologi pertanian rendah emisi.
Menuju Pertanian Tangguh Iklim
Penutupan Proyek GRASS S menandai tonggak penting perjalanan menuju sistem pertanian yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga komunitas lokal serta mitra internasional, upaya memperkuat ketahanan petani swadaya di Indonesia dipastikan tidak akan berhenti di sini.
Melalui kolaborasi berkelanjutan dan investasi jangka panjang, harapannya Kalimantan Barat dapat menjadi contoh keberhasilan transformasi pertanian hijau yang memberi manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi generasi mendatang. (A3)