Agricom, BOGOR –Ketua Umum Ikatan Ahli Biofuel Indonesia (IKABI), Prof Tatang H Soerawidjaja, mengungkapkan, penggantian 30% minyak mentah dan BBM impor pada 2025 paling tidak membutuhkan sekitar 50% dari produksi minyak sawit saat ini yang mencapai 46 juta ton.
Sebab itu muncul kekhawatiran akan mengganggu pasokan minyak sawit untuk pangan, hanya saja kata Prof Tatang, dalam pemenuhan pasokan minyak nabati untuk bioenergi tidak perlu dilakukan pemisahan antara untuk pangan dan energi, tetapi bisa dilakukan secara dinamis, apalagi produksi minyak sawit nasional setiap tahun terus meningkat.
Tanpa pemisahan pasokan bisa mencontoh yang dilakukan Brazil dengan produksi gula dan etanolnya, atau Amerika Serikat dengan Jagung dan biodieselnya. “Sehingga sekaligus bisa menjadi salah satu penyeimbang pasokan dikala harga komoditas mengalami penurunan harga,” kata dia.
Lebih lanjutn merujuk hitungan Prof Tatang, pada 2018 lalu produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia telah mencapai 46 juta ton, dan sekitar 3 juta ton minyak inti sawit mentah (CPKO) atau ekuivalen dengan 700 sampai 750 ribu barrel/hari bahan bakar minyak.
Dengan demikian sudah sewajarnya Indonesia adalah penghasil biohidrokarbon (hidrokarbon terbarukan) paling besar di dunia. Prof Tatang bahkan menggambarkan dengan membangun energi berasal dari biodiesel sawit maka Indonesia bakal bisa menghemat devisa.
Misalnya saja pada 2025 sebanyak 360 ribu barrel /hari BBM atau setara minyak sawit 30% dari impor dapat diganti dengan subtitusi 360 ribu barrel/hari bahan bakar nabati (BBN) (biohidrokarbon + biodiesel) dari minyak sawit maka akan ada penghematan devisa sebesar US$ 25,2 juta/hari atau US$ 9,2 miliar/tahun. (A2)