Petani Sawit Swadaya, Kunci yang Sering Terabaikan dalam Rantai Pasok Minyak Sawit Berkelanjutan


AGRICOM, JAKARTA – Selama puluhan tahun, petani sawit swadaya menyumbang porsi penting dalam produksi kelapa sawit Indonesia. Namun, keberadaan mereka kerap berada di pinggiran rantai pasok formal. Seiring meningkatnya tuntutan pasar global atas komoditas bebas deforestasi dan aturan kepatuhan yang makin ketat, pertanyaan mendesak pun muncul: bagaimana petani kecil bisa diakui, didukung, dan terintegrasi dalam kerangka berkelanjutan?

Sebuah uji coba di Aceh Tamiang yang dipimpin oleh IDH Indonesia mulai memberikan jawaban. Bekerja sama dengan PUPL Aceh Tamiang, petani swadaya bersertifikat RSPO, PT Mora Niaga Jaya, dan Koompasia, inisiatif ini menguji bagaimana kemitraan dan komitmen sektor swasta dapat mengubah inklusi petani kecil dari sekadar wacana menjadi kenyataan pasar.

BACA JUGA: 

- PalmCo Gandeng Petani Sawit Percepat Program PSR

- PTPN IV PalmCo Targetkan Peremajaan Sawit Rakyat 22 Ribu Hektare Tahun Ini

Dalam uji lapangan, mitra menggunakan platform Jejak Sawit untuk melacak tandan buah segar (TBS) dari kebun petani swadaya bersertifikat menuju pabrik PT Mora Niaga Jaya. Sistem digital ini memberikan transparansi, namun para pemangku kepentingan menegaskan teknologi hanyalah satu bagian dari solusi.

“Teknologi bisa membantu mencatat perjalanan minyak sawit,” ujar Dr. M. Windrawan Inantha, Deputy Director for Market Transformation (Indonesia) di RSPO kepada Agricom.id, Kamis (4/9/2025). “Tetapi yang lebih penting adalah kemauan perusahaan dan komunitas untuk bekerja sama. Tanpa kolaborasi, teknologi saja tidak akan mengubah sistem.”

Komitmen dari Sektor Swasta

Selain membuktikan nilai digitalisasi dalam keterlacakan, sinyal kemajuan nyata justru muncul dari dukungan perusahaan. Dalam pertemuan lanjutan yang digelar PUPL Aceh Tamiang, PT Mora Niaga Jaya menyatakan siap memberi insentif tambahan bagi petani swadaya bersertifikat RSPO, di luar harga yang diatur pemerintah. Insentif ini merupakan pengakuan atas nilai yang dihasilkan petani saat menerapkan praktik berkelanjutan.

Keterlibatan korporasi semacam ini sangat penting. Struktur insentif bisa mendorong petani lebih banyak untuk mengadopsi sertifikasi, bertahan pada standar keberlanjutan, sekaligus menunjukkan keseriusan pabrik dan pembeli lokal dalam memenuhi tuntutan global.

Implikasi untuk Perdagangan Global

Langkah awal di Aceh Tamiang ini berpotensi memengaruhi posisi Indonesia di pasar internasional. Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) menuntut keterlacakan penuh, sementara pembeli di Tiongkok dan India juga semakin sensitif terhadap risiko rantai pasok. Kolaborasi antara pabrik dan petani swadaya dalam membangun rantai pasok transparan berbasis insentif dapat menjadi keunggulan kompetitif bagi Indonesia.

“Petani swadaya adalah bagian penting dari masa depan sawit berkelanjutan,” tegas Windrawan. “Tantangannya adalah memastikan mereka masuk ke dalam rantai pasok fisik sehingga produksinya benar-benar terlacak. Dengan kolaborasi dan kepemimpinan sektor swasta, inklusi mereka bisa menjadi nyata dan bernilai di pasar global.”

Awal yang Menjanjikan

Inisiatif ini memang masih dalam tahap uji coba. Tantangan besar menanti, mulai dari memperluas partisipasi, menyempurnakan skema insentif, hingga membangun kepercayaan di seluruh rantai pasok. Namun arahnya sudah jelas: keterlihatan petani swadaya tidak cukup dengan teknologi digital, melainkan melalui kemitraan yang menghadirkan manfaat nyata di lapangan.

Meski skala pilot di Aceh Tamiang terbilang kecil, pesannya besar bagi perdagangan global: rantai pasok inklusif bergantung pada komitmen dan kolaborasi, bukan sekadar teknologi. Mengintegrasikan petani swadaya bukanlah bentuk amal, melainkan syarat mutlak untuk memenuhi regulasi, menjaga ketahanan pasok, dan memastikan posisi sawit dalam masa depan komoditas berkelanjutan. (A3)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP