INDEF Paparkan Strategi Pertanian 2026 untuk Wujudkan Kemandirian Pangan Nasional

INDEF Paparkan Strategi Pertanian 2026 untuk Wujudkan Kemandirian Pangan Nasional
Agricom.id

08 December 2025 , 12:41 WIB

Para pemangku kepentingan sektor pangan menekankan pentingnya reformasi struktural, kepastian tata kelola, serta modernisasi input dan distribusi untuk memperkuat kemandirian pangan Indonesia pada 2026. Foto: Istimewa

 

AGRICOM, JAKARTA — Pemerintah menempatkan kemandirian pangan sebagai agenda strategis nasional untuk mengurangi kerentanan terhadap gejolak harga global, gangguan logistik, dan ketergantungan impor. Namun menjelang 2026, sektor pertanian masih berhadapan dengan sejumlah tantangan struktural: pertumbuhan PDB sektor yang masih tertinggal dari ekonomi nasional, pemulihan pascapandemi yang belum stabil, produktivitas yang stagnan, serta adopsi teknologi yang berjalan lambat.

Ketimpangan antar komoditas juga masih terlihat. Produksi padi relatif stabil, jagung terus membaik, namun kedelai dan gula mengalami pelemahan. Impor beras jenis khusus yang telah mencapai lebih dari 223 ribu ton pada Januari–Juli 2025 menjadi indikator bahwa produksi domestik belum sepenuhnya mencukupi. Dalam tekanan ekonomi global dan volatilitas harga pangan, pendekatan Food–Energy–Water Nexus dinilai semakin penting agar kebijakan dari hulu hingga hilir berjalan konsisten.

BACA JUGA: 

- Update Harga CPO Jumat (5/12): KPBN Inacom dan Bursa Malaysia Menguat Didorong Rebound Harga Minyak Nabati di Bursa Dalian dan Chicago

- Harga TBS Sawit Jambi Naik Menjadi Rp 3.418,53/kg di Awal Desember 2025

 

Penguatan Kebijakan, Kepastian Lahan, dan Dukungan Petani Kecil

Anggota Komisi IV DPR RI, Endang Setyawati Thohari, menegaskan bahwa ketahanan pangan tidak cukup hanya mengandalkan peningkatan produksi. Diperlukan konsistensi regulasi, kepastian tata kelola lahan, serta perlindungan bagi petani kecil yang menjadi tulang punggung rantai pangan nasional.

Ia menilai risiko global—mulai dari fluktuasi harga, konflik geopolitik, hingga gangguan rantai pasok—menuntut Indonesia membangun sistem pangan yang jauh lebih tangguh. “Transformasi pertanian harus mencakup penguatan riset benih, modernisasi logistik, efisiensi input, dan revitalisasi irigasi untuk mendorong kenaikan produktivitas secara merata,” katanya, dalam keterangan yang diterima Agricom.id, ditulis Senin (8/12).

Melalui fungsi legislasi dan anggaran, Komisi IV berkomitmen memperkuat pendanaan sektor pertanian serta mempercepat pelaksanaan one map policy untuk mengurangi konflik lahan. Endang juga menekankan pentingnya menempatkan petani kecil, masyarakat lokal, hingga generasi muda sebagai pusat ekosistem pangan melalui akses yang lebih luas terhadap modal, teknologi, dan kemitraan yang berkeadilan.

BACA JUGA: 

- Tinjau Lokasi Bencana, Mentan Pastikan Stok Beras Aman dan Perbaikan Lahan Pertanian

- Mentan Amran Beri Apresiasi kepada GAPKI atas Dukungan Donasi Bencana Sumatera

 

Pupuk sebagai Penentu Produktivitas

Direktur Operasi PT Pupuk Indonesia (PIHC), Dwi Satriyo Annurogo, menyoroti peran krusial ketersediaan pupuk—khususnya nitrogen—bagi produktivitas padi dan komoditas pangan lainnya. Dengan proyeksi kebutuhan beras yang meningkat menuju Indonesia Emas 2045, tambahan produksi hingga 5,69 juta ton harus dicapai melalui pemupukan yang tepat dan berkelanjutan.

Dwi menegaskan bahwa kapasitas produksi pupuk nasional berada dalam kondisi memadai, dan terus ditingkatkan melalui perbaikan distribusi. Digitalisasi—mulai dari command center, dashboard pemantauan, hingga pencatatan elektronik—diterapkan agar penyaluran pupuk subsidi berlangsung transparan dan tepat sasaran hingga tingkat petani.

Ke depan, PIHC akan memfokuskan transformasi industri pupuk pada efisiensi energi, pengembangan pemupukan presisi, serta pembangunan pabrik baru di kawasan timur Indonesia demi memperkuat rantai pasok nasional. Langkah ini diharapkan menjadi fondasi menuju swasembada pangan sekaligus mendukung transisi pertanian rendah emisi.

 

Analisis INDEF: Pemulihan Belum Merata dan Tekanan Neraca Pangan

Abra Talattov, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, memaparkan analisis jangka panjang kinerja sektor pertanian sejak 2015. Pertumbuhan sektor pertanian berada pada kisaran 4,9 persen di Triwulan III-2025, namun masih lebih fluktuatif dibanding PDB nasional yang stabil di atas 5 persen. Kondisi ini menunjukkan pemulihan yang belum sepenuhnya struktural.

Output padi dan jagung menunjukkan perbaikan, tetapi komoditas strategis seperti gula dan kedelai stagnan. Di sisi lain, permintaan terhadap komoditas impor seperti gandum, gula, dan kedelai terus meningkat tanpa dibarengi kapasitas produksi domestik yang memadai, sehingga memperlemah neraca pangan 2025.

Untuk mengantisipasi risiko pangan 2026, Abra menekankan perlunya memperbaiki koordinasi kelembagaan, memastikan kelancaran distribusi, serta menekan biaya produksi yang terus naik dan dapat membebani daya beli masyarakat. Ia juga mengingatkan bahwa beban perlindungan sosial pangan dan subsidi berpotensi meningkatkan tekanan fiskal jika kebijakan tidak diefisiensikan.

Menurutnya, pendekatan Food–Energy–Water Nexus harus menjadi dasar penyusunan kebijakan pangan nasional. Konsistensi tata kelola, efisiensi rantai pasok, perbaikan kualitas data, serta peningkatan produktivitas menjadi kunci memperkuat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. (A3)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


TOP